Oleh Romo J. Pujasumarta, Pr
Uskup Bandung
Uskup Bandung
Bersamaan dengan kesadaran akan ancaman terhadap bumi karena kerusakan lingkungan hidup, muncul pula kesadaran perlunya mengadakan gerakan melestarikan keutuhan ciptaan. Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang menegaskan, bahwa mewujudkan Kerajaan Allah di bumi ini berarti pula antara lain melestarikan keutuhan ciptaan (Bdk. Ardas 2006-2010, alinea 1).
Salah satu indikasi keutuhan ciptaan ialah tumbuh dan berkembangnya flora dan fauna dalam keseimbangan yang indah. Karena itulah, upaya pastoral pun hendaknya dilakukan untuk melestarikan keutuhan ciptaan, yang biasa disebut dengan eko-pastoral, sebagaimana diuraikan dalam Nota Pastoral tentang Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang tersebut.
“Menjaga keutuhan ciptaan hendaknya diwujudkan dalam berbagai usaha melestarikan keseimbangan lingkungan hidup. Maka pastoral yang kita kembangkan adalah pastoral yang peduli pada pelestarian keseimbangan lingkungan hidup (eko-pastoral) . Oleh karena itu, perlu kita upayakan suatu cara hidup organik, yang didukung misalnya oleh pertanian ramah lingkungan, yang memproduksi hasil-hasil tanaman organik.
Upaya tersebut perlu didukung dengan membangun habitus baru dalam hidup, yaitu hidup hemat dalam segala bidang, misalnya berani mengatakan cukup dalam menggunakan sarana-sarana bagi hidup yang wajar; membeli barang-barang tidak berdasarkan pada keinginan melulu, tetapi pada kebutuhan nyata yang betul-betul untuk hidup sederhana.”
Gagasan-gagasan tersebut dapat mendorong kita untuk membangun Taman Kupu, sebagai salah satu usaha untuk melestarikan keutuhan ciptaan, yang dapat membantu kita untuk hidup arif dengan belajar pada kebijaksanaan alam (natural wisdom). Dengan demikian, kita ikut serta melestarikan keutuhan ciptaan sebagai habitus baru.
Itulah harapan yang dinyatakan dalam Nota Pastoral tentang Ardas KAS 2006-2010: “Habitus baru yang perlu dilakukan adalah menjadikan muka bumi ini taman yang indah, tempat semua penduduk tinggal bersama sebagai saudari dan saudara dalam keadilan dan perdamaian.” (NP tentang Ardas KAS 2006-2010). Melalui internet dan terutama melalui kontak langsung dengan alam sekitar kita dapat kita peroleh berbagai informasi mengenai kupu. Agar kita semakin peka terhadap sapaan alam.
Taman Kupu yang kita bangun ini dapat kita jadikan tempat perjumpaan kita untuk berbagi pengalaman hidup yang berkaitan dengan kupu. Belajar dari kupu sudah dapatlah kita temukan bahwa menjadi kupu memperlukan suatu proses metamorphosis yang lengkap: telur, ulat, kepompong, kupu. Metamorphosis tersebut membantu kita untuk memahami apa artinya transformasi. Proses tersebut juga menjadi simbolisasi kemungkinan hidup baru bagi manusia. Dan pintu masuk ke dalam kemungkinan tersebut telah dibuka oleh Yesus Kristus yang bangkit dari kematian, dan menjadi Sang Kupu yang terbang ke tempat tinggi untuk bersatu dengan Allah, Bapa-Nya, dan menjadi perantara keselamatan bagi kita semua.
Bagi saya sendiri, Desert Day yang diselenggarakan oleh Jesus Caritas pada tahun 2001 (17 Oktober 2001) di hutan pinus Deles Klaten merupakan peristiwa yang mencerahkan hidup saya. Suatu peristiwa perjumpaan dengan kupu, yang kemudian saya rekam dan abadikan dalam nyanyian yang berjudul “Kupu, kupu, terbanglah ke mari! Kisahkanlah perjalanan hidup ini!” Kupu-kupu datanglah ke mari. Silakan berkisah tentang perjalanan hidup kita di dalam Taman Kupu, tempat perjumpaan kita untuk berbagi pengalaman hidup yang kita terima sebagai anugerah Allah.
Ditulis oleh Romo Pujasumarta, Pr
Vicaris Generalis Keuskupan Agung Semarang
Hari Kebangkitan Nasional
20 Mei 2006
Mei 2008, Romo Puja diangkat menjadi Uskup Bandung oleh Paus Benediktus XVI
No comments:
Post a Comment