Tuesday, 27 May 2008

Diez Diez Danza Espana

Keindahan Tari Puitik Spanyol

Duet koreografer Monica Runde-Pedro Berdayes bersama kelompok Diez Diez Danza dari Spanyol benar-benar memenuhi janjinya. Tidak cuma kehangatan yang disodorkan. Keindahan puitik lewat gerak-gerak dinamis juga mereka peragakan dalam pertunjukan sekitar 70 menit di Gedung Kesenian Jakarta, Selasa (13/10) malam.


Eksplorasi geraknya kaya, meski sepintas terkadang tampak sederhana dan cenderung repetitif. Panggung pun tak pernah mereka biarkan kosong tanpa arti. Pertunjukan yang masih akan diulang Rabu (14/10) malam dan merupakan rangkaian pentas Art Summit IndonesiaII-1998 itu memberi sentuhan balet klasik pada tiga nomor tarian modern yang ditampilkan para penari dari negeri Matador tersebut. Keindahan dari khasanah klasik itu bukan hanya dihidupkan semangatnya, tapi terkadang juga dipakai dalam varian teknik geraknya.

Tengoklah cara mereka memanfaatkan ruang dengan pergerakan tubuh yang luwes dan memikat, lalu membentuk bidang-bidang diagonal di atas panggung. Gerakan tubuh menggelosor yang bertumpu pada pantat dan pinggul, atau perpindahan tubuh sambil duduk seraya memanfaatkan bagian luar telapak kaki -sementara kain hitam menutupi sebagian kakisehingga si penari tampak seolah-olah bergerak di atas ombak- memberi sentuhan puitik pada garapan Monica Runde. Indah tapi juga liat dan kuat.

Keindahan puitik ini sangat terasa pada komposisi ketiga, Anyway (15 menit). Begitu sepasang penari muncul di bawah cahaya remang-remang, pentas dibawa ke satu situasi yang tak terhingga. Di sudut kanan belakang sebentuk gelas cocktail ukuran raksasa berdiri tegak. Sinarlampu berpendar terang, memberi kehangatan pada ruang yang diisi oleh gerak-gerak repetitif kedua penari. Gerakan berputar dengan satu kaki yang bertumpu pada tumit, diikuti sentakan badan dan leher ke belakang, menghasilkan tontonan yang memukau.

Kedua penari -dibawakan sendiri oleh Monica Runde dan Pedro Berdayes; keduanya adalah koreografer sekaligus pendiri Diez Diez Danza- berhasil mengolah ruang dengan ungkapan gerak-gerak ritmis.

Tema cinta terasa kental, sekaligus indah dan puitik. Ketika kedua penari 'bergulat' di atas panggung, di bawah cahaya yang berubah biru, sang penari perempuan bergerak dengan menyentakkan perut lalu meloncat berdiri. Pada hentakan berikutnya ia sudah bertengger dan bersidekap di tubuh pasangannya dengan kaki melingkar, sebelum akhirnya perlahan turun dan merunduk di lantai.


Efek visual

Dalam kesederhanaan ruang yang berlatar gelap, ungkapan gerak yang diperlihatkan duet penari-koreografer Monica Runde dan Pedro Berdayes sungguh memikat. Tak cuma lewat permainan gerak yang mengalir bagai air, pada nomor ketiga ini Runde dan Berdayes juga memanfaatkan efek visual yang terkesan puitik. Begitu serbuk putih seperti tepung yang diambil dari gelas cocktail raksasa dilempar ke atas, panggung mendadak berubah menjadi seperti awan mengambang. Cahaya pun berpendar-pendar di tengah ruang yang terkesan romantik.


Sesekali kedua penari berlari-lari kecil mengelilingi panggung. Gerakan ringan itu selalu diakhiri penyatuan tubuh kedua penari, lalu lepas, bersatu, dan lepas lagi. Adegan itu diperagakan dengan sangat halus dan indah. Juga ketika penari pria mengusung tubuh pasangannya, menyeret-nyeretnya, lalu dilemparkan ke lantai, hingga gerakan berputar-putar seperti gasing mainan anak-anak.


Tarian ini diakhiri dengan karikatur. Keduanya dikerek naik. Sambil mengenakan kacamata hitam, mereka "mengadu" botol minuman dan memuncratkan serbuk putih. Dalam tirai asap terdengarlah nyanyian Freddy Mercury: I want to break free.


Hangat, indah, dan dinamis. Barangkali itulah inti pertunjukan Diez Diez Danza yang disesaki penonton di Gedung Kesenian Jakarta. Pada dua nomor sebelumnya, O Beijo alias The Kiss (30 menit) dan Petrus atawa Let Them Fly (20 menit), pola gerak yang diperagakan oleh dua pasang penari juga tak kalah menarik.


Tarian O Beijo atau tari "Ciuman" menggambarkan hubungan tiga anak manusia yang terlibat urusan cinta. Selain konflik yang mewarnai hubungan segitiga itu, ungkapan birahi dan cemburu disajikan lewat gerak tubuh dan mimik wajah. Seluruh organ tubuh para penari sepertimemiliki fungsi. Mulai dari hentakan kepala, putaran bahu, kaki dan telapak tangan yang dipukulkan ke lantai, hingga sorot mata penuh kemarahan, menjadikan nomor ini terasa kaya akan bentuk dan gerak.

Begitupun pada komposisi Petrus. Empat penari yang tampil berpasangan muncul dalam iringan musik Bach yang sendu. Selama sekitar 20 menit, dua pasang penari -dua laki-laki dan dua perempuan- terus bergerak mengitari panggung dengan berbagai tampilan. Oleh sang koreografer, Monica Runde, tarian ini lebih dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa berbagai macam gerak dalam tari sesungguhnya tidak mengenal jenis kelamin. Apa yang bisa dilakukan laki-laki juga dapat dimainkan oleh perempuan. Begitu pun sebaliknya.


Di tangan Monica Runde, tema kesetaraan itu ia garap dengan gaya yang terkadang terkesan jenaka. Bahkan pada beberapa bagian, Runde cenderung menampilkannya dengan memberi peluang pada tafsir tentang kehidupan kaum homoseksual. Ini sangat terlihat pada gestur dantatapan mata penari pria berkepala botak (Tanguy Cochennec) yang bergairah ketika berdekapan dengan pasangannya yang dimainkan Pedro Berdayes. (ryi/bre/efix/ken)


Gerak Indah-- Sebuah adegan dalam tari Anyway yang penuh dengan gerak indah, dibawakan Monica Runde dan Pedro Berdayes, Senin (12/10), sewaktu gladi bersih untuk Art Summit Indonesia II/1998. Penampilan tari dari Spanyol ini semalam (13/10) memikat ratusan penonton yang memenuhi Gedung Kesenian Jakarta.

Co-written by Mathias Hariyadi and Efix Mulyadi
Also attended by Bre Redana, Kenedy Nurhan
Published by Kompas, Wednesday 14 October 1998
Halaman: 1 Penulis: RYI/BRE/EFIX/KEN
Database Kliping MATHIAS HARIYADI
222.124.79.135
Photo creditt: Kompas/Arbain Rambey
Photo caption: Kompas/Mathias Hariyadi

No comments: