Sunday, 18 May 2008

Zimmermman Memberi Roh Metropolis


Pesan Moral Metropolis dan Zimmermann

BANYAK hal istimewa dan mengasyikkan terjadi sepanjang nonton film Metropolis, dengan iringan piano secara live oleh Aljoscha Zimmermann, di Pusat Perfilman Usmar Ismail Jl Rasuna Said, Kuningan, Jaksel, Sabtu (6/3) malam pekan lalu. Metropolis yang bisu mendapatkan rohnya hingga film berdurasi 127 menit garapan sutradara Fritz Lang (5 Desember 1890-2 Agustus 1976) ini menjadi tontonan menarik tak membosankan. Ratusan penonton -di antaranya Dubes Jerman Heinrich Seeman- tampak menikmati Metropolis yang berujung dengan gemuruh tepuk tangan, disertai standing ovation di akhir film.


Tentu, permainan andal pianis Zimmermann ikut menunjang suasana semarak. Dengan partiturdi hadapannya dan sesekali mencuri pandang ke arah layar, profesor musik Sekolah Tinggi Musik di Muenchen ini terlihat mampu mengimbangi irama film. Tak jarang Zimmermann memainkan musiknya dengan tempo lambat, terutama ketika di layar muncul adegan-adegan romantis. Sementara dentingan piano sering pula ia mainkan dengan tempo vivache, untuk mengiringi adegan orang membanting pintu, marah, atau mengejar-ngejar lawan.


Jadilah pemutaran Metropolis dan resital piano oleh Zimmermann itu sebuah pagelaran duet musik-film yang berjalan seiring, seirama, dan saling melengkapi. Metropolis yang bisu mendapatkan jiwanya berkat Zimmermann. Sebaliknya, permainan pianis asal Muenchen ini lalu menemukan konteks dan relevansinya dalam film tanpa suara ini.


Bermain maraton selama dua jam tujuh menit -sepanjang durasi Metropolis- tak membuat Zimmermann capai. Sebaliknya ia puas, ketika ratusan penonton -di antaranya duduk di tangga karena tak kebagian kursi- langsung meresponsnya dengan tepukan panjang. "Permainan yang sangat mengasyikkan," puji pemusik Tony Prabowo dan Arjuna Hutagalung usai pertunjukan.

***

DIBUAT di Universum-Film-Aktiengesellschaft (UFA), sebuah studio di Berlin, Metropolis dikerjakan tahun 1925-1926 selama 310 hari dan 60 malam, berdasarkan skenario garapan Thea von Harbou, istri Lang.


Didukung 750 aktor-aktris dan lebih dari 30.000 figuran, film yang diluncurkan di Berlin 10 Januari 1927 ini menggandeng Brigitte Hell sebagai Maria/Maria "Mesin", Alfred Abel (Jo Fredersen), Gustav Frohlich (Freder), Rudolf Klein-Rogge (Rotwang) dan lainnya.


Menurut Urgosikova dalam sebuah ulasannya di International
Dictionary of Films and Filmmakers-1 (St James Press: Chicago-Londonm 1990), Metropolis termasuk satu film Lang yang istimewa. Lewat film bisu hitam-putih ini, tulisnya, sutradara kelahiran Wina yang belakangan beremigrasi ke AS ini mendapatkan "saluran" untuk mewujudkan impiannya, tentang kemungkinan terbentuknya sebuah tipe masyarakat baru, sekalipun hanya merupakan utopia (impian semata) waktu itu.


Masyarakat baru itu adalah sebuah komunitas manusia, terdiri dari dua strata sosial dengan konflik kepentingan antarmereka sebagai cirinya. Inilah tipe masyarakat metropolis di "lapisan atas" yang hidup makmur dan berlebihan. Bersamaan di "lapisan bawah" sebuah komunitas buruh yang hidup melarat, akibat eksploitasi berlebihan oleh pemilik modal.


Perbedaan kepentingan inilah yang membawa dua "lapis" komunitas itu pada situasi konflik, hingga akhirnya terjadilah pemberontakan melawan si tiran Fredersen. Metropolis menokohkan Freder, anak Fredersen, sebagai seorang provokator yang menyatakan berdiri di belakang buruh untuk melawan ayahnya. Konflik anak-bapak ini semakin kencang ketika mereka saling memperebutkan cinta seorang perempuan bernama Maria.


Sebagai sutradara, Lang terpengaruh film-film ekspresionistik yang berkembang tahun 920-an, khususnya bentuk artistiknya. Salah satunya terlihat di Metropolis, ketika ia mengkontraskan masyarakat metropolis di "lapisan atas" yang bergaya modern-futuristik dengan sebuah rumah kuno di "lapisan bawah", di mana hidup Rotwang, sosok pria misterius dengan peran ganda: ilmuwan sekaligus tukang nujum.


Lewat percobaan kimia, Rotwang berhasil mengisi "roh" atas raga seorang perempuan yang ia beri nama Maria "Mesin", sebuah adegan yang mengingatkan orang pada film The Bride of Frankenstein. Dan Maria "Mesin" inilah yang atas rekayasa Rotwang-Fredersen diciptakan agar bisa mematahkan semangat juang Freder, yang memilih memihak kaum buruh daripada ayahnya sendiri.


Lang mengakhiri filmnya dengan kalimat bijak: "Hati memang sebaiknya menjadi mediasi antara otak dan tangan". Dengan rumusan lain, Metropolis mau menegaskan satu kebenaran moral: nurani (suara hati) adalah pelita kehidupan. (Mathias Hariyadi)

Masyarakat Lapisan Atas--Inilah gambaran tipe sebuah masyarakat baru yang hidup serba modern dan berlebihan di lapisan bumi bagian atas. Di bawahnya tinggallah satu komunitas sosial lain dengan kondisi jauh berbeda yang ditandai dengan kemiskinan. Itulah masyarakat buruh yang diperas tenaganya oleh masyarakat "lapisan atas".

Written and posted by Mathias Hariyadi
Published by Kompas
Foto: Istimewa

No comments: