Saturday, 17 May 2008

Soal Tamak dan Rakus, Orang Jakarta Jagonya Cing!

Melebihi Belanda, Itulah Jakarta

BICARA soal tingkat kezaliman maupun watak rakusnya, ternyata elite politik di Jakarta jauh lebih ganas dibanding elite kolonial Belanda. Paling tidak itulah penilaian penyair Aceh sekaligus Ketua Panitia Kampanye Seni untuk HAM Aceh (Kasuha) Fikar W Eda, lewat sajaknya Melebihi Belanda, Itulah Jakarta!. Sebuah puisi duka yang terdengar amat garang namun juga menyentuh hati.

Pernyataan tegas itu berulang kali bergaung keras di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM), ketika Selasa (7/9) malam lalu digelar acara seni Prosesi Tulak Bala oleh para seniman-seniwati peduli Aceh. Inilah puncak acara dari serangkaian kegiatan Kasuha selama sebulan terakhir.

Pembacaan puisi Melebihi Belanda, Itulah Jakarta! adalah satu cara untuk menggugah kesadaran kritis atas derita rakyat Aceh. Cara serupa dilakukan penyair kawakan Taufik Ismail. Dalam kaitan ini bahkan Taufik terkesan lebih garang dan menyayat hati. "Bina Graha (kantor Presiden RI-Red), itulah VOC masa kini!" katanya berteriak, penuh emosi namun enak terdengar di telinga penonton.

Elite politik Jakarta, katanya lewat puisi VOC, tingkat kerakusan-nya sudah melebihi "keganasan" mesin pencetak uang kerajaan bisnis kolonial Belanda. Bumi Aceh adalah satu contohnya: ketika kekayaan alam di kawasan Serambi Mekah ini dikuras habis-habisan, saatbersamaan justru warganya tak kunjung putus menjadi korban operasi Daerah Operasi Militer (DOM) yang dilancarkan tentara.

"Kepala-kepala manusia itu jatuh menggelinding begitu saja ke tanah karena ditebas pedang. Ini sama sekali bukan sebuah metafor, karena bukti konkretnya ada dan kini saya bawa ke hadapan Anda sekalian," ucapnya dengan suara bergetar sembari mempertontonkan sebuah foto yang memperlihatkan kepala manusia terpisah dari tubuh.

Tak cuma Taufik, penyair gaek WS Rendra pun menyampaikan isi hatinya lewat dua sajaknya yang berjudul Tentang Mata dan Tentang Mata Pula. Agak berbeda dibandingkan penampilannya pada acara serupa dua bulan lalu di Kampus Universitas Muhammadiyah Prof Hamka-dan di Gedung Kesenian Jakarta sebulan kemudian-yang terkesan garang, penampilan Mas Willy kali ini jauh dari kesan itu. Syahdu dan menyayat hati. Pokoknya, membuat penonton menangis menyaksikan bumi Aceh tercabik-cabik seperti tampak lewat display foto-foto kekerasan tentang Aceh.
***
Prosesi Tulak Bala bermula dari plaza terbuka TIM, persis di pinggir Jl Cikini Raya. Berbaur dengan lalu-lalang pejalan kaki, penonton yang mayoritas para pekerja seni Kasuha dan simpatisannya menyaksikan berbagai ekspresi seni tentang tragedi Aceh. Musikalisasi oleh Sanggar Seni dari Universitas Muhammadiyah Prof Hamka, koor Universitas Islam 45 Bekasi, Teater Anak-anak Sanggar Matahari ikut mengisi bagian pentas di luar gedung ini.

Prosesi Tulak Bala -ekspresi seni lewat arak-arakan manusia pembawa obor yang berjalan sembari melantunkan salawat badar dalam bentuk nyanyian- menutup pentas outdoors ini yang segera berlanjut di Graha Bhakti Budaya. Sepenggal tarian Rapai Geleng karya koreograferNoerdin Daud asal Aceh mengawali pertunjukan, disusul pembacaan Hikayat Aceh oleh Teuku Ruslan dengan kualitas suaranya yang begitu indah namun juga menyayat hati.

Penari Cut Aja Rizka dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ) melanjutkannya dengan tarian Perang Sabil. Inilah tari yang menggambarkan kelembutan sekaligus kereligiusan perempuan Aceh dalam hidup kesehariannya. "Namun jangan tanya, cacing pun akan mogel (bergerak tanda protes) bila diinjak. Lebih lagi perempuan Aceh bila diperlakukan kasar, ditindas, dan direbut kehormatannya. Mereka akan angkat rencong dan maju ke medan laga," ungkap Noerdin Daud.

Tari Didong oleh Grup Kesenian Denang Gayo dari Musara Gayo, Aceh Tengah, mengakhiri pentas seni bertajuk Proses Tulak Bala ini. Sebuah pesta ekspresi duka sekaligus keprihatinan yang mendapat respons hangat dari para penonton-tua, muda, anak-anak, namun mayoritasmahasiswa peduli Aceh. Yang pasti, kata ketua panitia Fikar Eda, pentas seni menutup gerakan Kasuha ini sangat efektif. Terbukti, ada begitu banyak para dermawan yang rela merogoh kantungnya untuk membantu penderitaan rakyat Aceh. (Mathias Hariyadi)


JAKARTA LEBIH GANAS -- Penyair muda Aceh, fida E Eda, dengan semangat meneriakkan pernyataan "Melebihi Balanda", Itulah Jakarta!" yang menyentak penonton. pembacaan puisi itu menjadi bagian pertunjukkan Prosesi Tulak Bala oleh panitian Kasuha di TIM, Selasa (7/9) malam.

Written and posted by Mathias Hariyadi
Published by Kompas, Thursday 9 September 1999
Photo credit: Kompas/Mathias Hariyadi
Caption title & text: Kompas/Mathias Hariyadi

Database Kliping MATHIAS HARIYADI
222.124.79.135
Melebihi Belanda, Itulah Jakarta!
KOMPAS - Kamis, 09 Sep 1999
Halaman: 21
Penulis: RYI
Ukuran: 4695
Buyung, Surya and Yulianti joined me in this reporting.

No comments: