DENGAN membuat film, sutradara Kohei Oguri (54) asal Jepang bisa "menemukan" kembali elan vital (jiwa utama) dan jati diri bangsanya, yakni etos semangat mengakrabi alam.
Selama kurang lebih satu dasawarsa, Kohei Oguri mengupayakan itu tanpa banyak publikasi. Hasilnya mencengangkan, seperti terlihat dari berbagai reaksi publik Jakarta usai menyaksikan Nemuru Otoko (Manusia Tidur), salah satu judul filmnya. Banyak orang bingung memahami "alur" logika pemikiran Oguri dalam film ini, namun karyanya ini punya "sesuatu" untuk diperbincangkan.
Selain menampilkan para bintang terkenal dari beberapa negara seperti Christine Hakim dari Indonesia dan Ahn Sung-ki asal Korea Selatan, temanya juga tak biasa. Film ini menggambarkan sikap tradisional masyarakat Jepang menghadapi alam, kehidupan, dan kematian. Modernisasi Jepang pasca-Perang Dunia II memang telah mengantar bangsa ini pada kemajuan ekonomi luar biasa, namun "korban"-nya besar, yakni bangsa Jepang kehilangan jati dirinya sebagai masyarakat pencinta alam. Fokus tema inilah yang membuat film ini menjadi semacam "dobrakan" yang membuat banyak orang Jepang tersadarkan kembali akan jati dirinya.
Beredar resmi di Jepang awal tahun 1996, film ini lalu menjadi semacam icon yang belakangan ikut melahirkan genre baru dalam industri perfilman Jepang. Film ini dianggap telah melahirkan semangat baru di antara para sineas muda Jepang, untuk menggarap film sejenis dengan sentuhan etos semangat mengakrabi alam sebagai satu ciri bangsa Jepang. Lainnya, membuat film dengan "napas" semangat baru, yakni tak melulu atas dasar pertimbangan komersial semata.
Semula, Nemuru Otoko banyak dikecam karena alur "logika"-nya susah dipahami. Namun, film ini mendapat reputasi nasional dan belakangan internasional, serta mengalami masa putar begitu panjang di banyak kota di seluruh kawasan Jepang.
"Di Tokyo saja, Nemuru Otoko diputar lebih dari enam bulan sejak mulai diedarkan. Kurun waktu lebih lama lagi berulang, ketika film ini kemudian diputar di kawasan lain di luar ibu kota," jelas pria kalem ini pada wawancara khusus dengan Kompas beberapa jam sebelum bertolak kembali ke Tokyo, usai menghadiri hajatan Jakarta International Film Festival (JifFest) di Jakarta akhir November 1999
lalu.Apa yang terjadi di Jepang juga terjadi di Jakarta, ketika Nemuru Otoko diputar sebagai acara penutup pada JifFest. Kesan penonton pada dua kali pertunjukan serupa; filmnya susah "dicerna". Dalam konferensi pers di Pusat Kebudayaan Jepang Oguri mengatakan bahwa dia menerima kesan dan penilaian itu. Katanya, "Saya amat mengerti itu. Bangsa Jepang yang tahu bahasanya dan paham setting sosial film ini pun telah mengalami hal serupa."
Christine Hakim, bintang utamanya, tak menampik kesan umum itu. Komentar itu, katanya, sudah teramat lazim ia terima dan dengar.
Menurut Oguri yang dibenarkan Christine Hakim, film ini tidak "dibangun" berdasarkan urut-urutan satu adegan dengan adegan lainnya. Alur "logika" film ini juga tak dibangun berdasarkan logika percakapan atau dialog. Ia merekatkan satu adegan dengan adegan lain menurut logika "semangat dasar" bangsa Jepang yang mencintai alam semesta. Katanya, para pemirsa film ini akan kecewa kalau terlalu mengharap sebuah "benang merah" yang gamblang.
***
LAHIR di Maebashi, Prefekorat Gunma, 29 Oktober 1945, awal perkenalan Oguri dengan dunia film terjadi sejak ia menyaksikan sebuah film Polandia, dengan bintang Anje Waida, yang diputar tahun 1962 di Jepang. Sebelumnya dan tahun-tahun pertama sekolah di SD hingga SMU, Oguri mengaku tidak pernah dan tahu apa itu film. Katanya, gara-gara tema film yang bicara soal sejarah politik Polandia itu, ia lalu jatuh cinta dengan film.
"Sejak itulah saya mulai meyakini, film adalah media paling efektif untuk menggambarkan dunia dan realitas batin manusia. Dibandingkan puisi dan lukisan, film jauh lebih hidup sekaligusmengungkapkan fakta lebih intens," tutur pria yang kini bapak tiga orang anak dan suami Ny Eiko Oguri ini.
Pengalaman inilah yang mengantar Oguri belajar seni teater di Universitas Waseda, Tokyo. Selama masa kuliah, ia mulai belajar tentang film dan sesekali menjadi asisten sutradara pada film-film garapan sutradara Masahiro Shinoda dan Kiriro Urayama. Selesai kuliah, Oguri lalu memutuskan terjun sepenuhnya ke dunia film meski sesekali gemar melukis, menulis puisi, dan bermain teater.
Film pertamanya, Muddy River (1981), yang diolah berdasarkan hasil adaptasi novel karangan Teru Miyamoto, berhasil menyabet berbagai penghargaan. Selain dinobatkan sebagai Film Terbaik Jepang versi majalah Kinema-Junpo, film itu juga menyabet Blue Ribbon Best Film Award dan juara kedua saat berlangsung International Film Festival di Moskwa.
Sukses itu berlanjut dengan For Kayako, filmnya kedua garapan tahun 1984 yang berhasil menyabet Georges Sadoul Award. Sementara filmnya ketiga, Sting of Death, meraih dua penghargaan bergengsi di Festival Film Cannes (Perancis), yakni Le Grand Prix 1990 danInternational Critics Prize. Sejak inilah, nama Oguri meroket dan namanya mulai diperbincangkan di kalangan para sineas dunia. Tahun 1993, ia sempat menggarap Correspondence by Film berkolaborasi dengan Slamet Rahardjo Djarot untuk program televisi NHK Jepang. Nemuru Otokoadalah filmnya yang keempat sekaligus paling kontroversial.
Namun di luar semua kontroversi itu, ternyata justru lewat Nemuru Otoko ini Oguri secara tak langsung ikut berperan "menyadarkan" bangsa Jepang akan jati dirinya sebagai bangsa pencinta alam semesta. Satu semangat ini, jelasnya, yang kini kian ditinggalkan orang Jepang akibat derasnya pengaruh atmosfer budaya modern dan masyarakat teknokratik.
***
MENURUT Oguri, pada era teknologi modern ini peradaban manusia makin dikuasai sebagian atau seluruhnya "tunduk" pada "logika" teknologi. Mentalitas teknokratik akan lahir dari "peradaban" teknologi ini, ketika manusia makin dikuasai teknik dan terkurung dalam sistem metode hasil kreasinya sendiri. Fenomena ini bisa "mengacaukan" hubungan-hubungan sejati antarmanusia di satu sisi, manusia dengan dirinya sendiri, dan manusia dengan alam semesta di
sisi lain.Pemikiran inilah yang "melahirkan" Nemuru Otoko, yang kata Christine, merupakan cerminan refleksi Oguri atas fenomena "terperangkapnya" masyarakat modern Jepang oleh budaya dan mentalitas teknokratik. Karena itu, upaya mencerna dan memahami "isi" Nemuru Otoko dengan alur "logika" tak biasa itu, harus didasarkan pada perspektif mana yang dipakai Oguri ketika menggarap film ini. Soalnya, tak semua film bisa "dicerna" maksud, tema, dan keindahannya, hanya melulu dengan pendekatan rasio semata. Perspektif sudut pandang human interest justru sering kali bisa membantu kita memahami isi dan bentuk film secara utuh, integral, dan juga benar.
Ini perlu, ketika peradaban teknologi telah "meringkus" manusia dalam tata nilai tertentu, yang secara sistematik mempengaruhi cara pikirnya mempersepsi sesuatu, termasuk film. Berbagai "konstruksi nilai" inilah yang perlu kita bongkar saat "membedah" Nemuru Otoko, yang oleh Oguri dipersepsikan menjadi sebuah film surealis tentang hubungan intens antara manusia dengan alam semesta. (Mathias Hariyadi)
Written and posted by Mathias Hariyadi
Published by Kompas, 18 January 2000
Interviewed at Soekarno-Hatta Airport Hotel
Almost before midnight
Indonesia's noted actress Christine Hakim joined the session.
Photo credit: Kompas/Mathias Hariyadi
Kohei Oguri
Sources: Data base klipping MATHIAS HARIYADI
222.124.79.135
Kohei Oguri, Jati Diri Jepang * Box
KOMPAS - Selasa, 18 Jan 2000 Halaman: 12
Penulis: HARIYADI, MATHIAS
Ukuran: 7617
KOHEI OGURI, JATI DIRI JEPANG
No comments:
Post a Comment