Seabad Perjalanan Bangsa, Semangat Baru TVRI
DIAM-diam dan tanpa banyak publikasi, TVRI mulai "unjuk gigi"; membuat gebrakan baru dengan nuansa berbeda dibanding empat stasiun teve swasta.
Lewat program acara spesial bertajuk "Seabad Perjalanan Bangsa" yang ditayangkan secara langsung (live) dari Auditorium TVRI, Kamis (30/12) malam lalu, TVRI menggelar acara "gado-gado" dengan perspektif menarik. Menjadi sangat signifikan mencermati "Seabad Perjalanan Bangsa", karena stasiun teve yang dulu sering disindir sinis sebagai "corong" pemerintah Orde Baru itu kini mulai mengambil sikap kritis sekaligus "revolusioner".
Di antaranya selain pertunjukan istimewa oleh musisi Leo Kristi dan Franky Sahilatua dipertunjukan film-film dokumenter sejarah politik Indonesia era 1900-1999 yang sejumlah cuplikannya selalu ditabukan oleh rezim Orde Baru, hingga tak pernah boleh ditayangkan. Taruhlah itu sejumlah shots penting tentang gambaran sosok Bung Karno lengkap dengan segala atmosfer kebesarannya yang menonjol dan leadership-nya yang menawan-sampai sejumlah peristiwa penting lainnya seperti Peristiwa Rengasdengklok menjelang Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, ketika sejumlah pemuda nekat "menculik" Soekarno-Hatta ke luar Jakarta dan mendesak mereka untuk segera memerdekakan RI.
Bagi generasi sekarang yang nyaris tak pernah berkesempatan bisa menyaksikan "gambar hidup" Dwitunggal Proklamator Soekarno-Hatta dan suaranya semasa berjuang, maka "Seabad Perjalanan Bangsa" cukup mampu menjadi pelepas "dahaga" batin, yakni rasa ingin tahu tentang kiprah kedua pahlawan nasional ini.
Contohnya, suara Bung Karno memaklumatkan proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus di Jl Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat, atau tepukan penuh hangat ke pundak Mayjen Soeharto saat dilantik menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat 14 Oktober 1965, guna mengisi kekosongan jabatan di lingkungan AD akibat tewasnya para jenderal senior dalam peristiwa G30S/PKI. Demikian pula, peristiwa Soeharto ketika mengawasi anak buahnya mengangkat jenazah para Pahlawan Revolusi dari sebuah sumur tua di Lubangbuaya, Jakarta Timur, 4 Oktober 1965.
Lewat program acara spesial bertajuk "Seabad Perjalanan Bangsa" yang ditayangkan secara langsung (live) dari Auditorium TVRI, Kamis (30/12) malam lalu, TVRI menggelar acara "gado-gado" dengan perspektif menarik. Menjadi sangat signifikan mencermati "Seabad Perjalanan Bangsa", karena stasiun teve yang dulu sering disindir sinis sebagai "corong" pemerintah Orde Baru itu kini mulai mengambil sikap kritis sekaligus "revolusioner".
Di antaranya selain pertunjukan istimewa oleh musisi Leo Kristi dan Franky Sahilatua dipertunjukan film-film dokumenter sejarah politik Indonesia era 1900-1999 yang sejumlah cuplikannya selalu ditabukan oleh rezim Orde Baru, hingga tak pernah boleh ditayangkan. Taruhlah itu sejumlah shots penting tentang gambaran sosok Bung Karno lengkap dengan segala atmosfer kebesarannya yang menonjol dan leadership-nya yang menawan-sampai sejumlah peristiwa penting lainnya seperti Peristiwa Rengasdengklok menjelang Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, ketika sejumlah pemuda nekat "menculik" Soekarno-Hatta ke luar Jakarta dan mendesak mereka untuk segera memerdekakan RI.
Bagi generasi sekarang yang nyaris tak pernah berkesempatan bisa menyaksikan "gambar hidup" Dwitunggal Proklamator Soekarno-Hatta dan suaranya semasa berjuang, maka "Seabad Perjalanan Bangsa" cukup mampu menjadi pelepas "dahaga" batin, yakni rasa ingin tahu tentang kiprah kedua pahlawan nasional ini.
Contohnya, suara Bung Karno memaklumatkan proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus di Jl Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat, atau tepukan penuh hangat ke pundak Mayjen Soeharto saat dilantik menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat 14 Oktober 1965, guna mengisi kekosongan jabatan di lingkungan AD akibat tewasnya para jenderal senior dalam peristiwa G30S/PKI. Demikian pula, peristiwa Soeharto ketika mengawasi anak buahnya mengangkat jenazah para Pahlawan Revolusi dari sebuah sumur tua di Lubangbuaya, Jakarta Timur, 4 Oktober 1965.
***
DIBANDING program acara tayangan live stasiun-stasiun teve swasta, "Seabad Perjalanan bangsa" kemasan TVRI ini boleh dibilang "ketinggalan kereta". Selain miskin pemirsa langsung-acara ini hanya dihadiri para keluarga awak kru dan petinggi TVRI, satu-dua wartawan, dan keluarga seniman pengisi acara-program ini juga tak meninggalkan kesan glamor, lazimnya acara tayangan langsung teve-teve swasta yang selalu tampil serba "wah".
Nilai istimewa acara ini memang itu, tetapi sesuai dengan misinya yakni mengembalikan "kebenaran" fakta sejarah. Bisa dimengerti mengapa pada acara ini lalu hadir Dr Anhar Gonggong (sejarawan), Anas Urbaningrum (aktivis), Abdul Hakim (pejuang), Al Sastrouw Ng, dan perupa H Hardy (pengamat) dalam sebuah diskusi talk show tentang perlunya melihat sejarah masa silam guna meretas era sejarah baru.
Atau seperti kata Prof Fuad Hassan dalam pidato kebudayaannya dengan kutipan ucapan dari filosof Spanyol Jose Ortega y Gasset, katanya, "Bukankah hakikat manusia justru adalah kesejarahannya? (Man has no nature; what he has is history)."
Di sinilah segala seruan nyaring Leo Kristi lewat tembang Fajar, Nyanyian Malam, Nyanyian Tambur Jalan dan Franky Sahilatua dengan Bendera, Ewada dan Perahu Retak-nya menjadi sangat bergema. Apalagi ketika acara yang dipandu secara duet oleh Munyati Sulam dan Purnawa Suwardi ini diberi aksentuasi Prof Fuad dengan kutipan kata-kata ini; "Di atas tanah yang sama ini kita semua berdiri, dan di atas air yang sama pula ini kita berjanji..."
(Mathias Hariyadi)
SAYANG ANAK - Setiap kali naik pentas, Leo Kristi hampir tak pernah lupa mengajak anaknya naik panggung. Saat tampil memeriahkan acara TVRI bertajuk Seabad Perjalanan Bangsa yang ditayangkan secara langsung dari Auditorium TVRI Jl Gerbang Pemuda Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (30/12), Leo juga menyertakan anak-istrinya. Bahkan segala tingkah laku polah kedua anaknya dan sketsa-sketsa istrinya itu mampu memberi aksentuasi tersendiri pada pentas ini.
Written and posted by Mathias Hariyadi
Published by Kompas, Tuesday 4 January 2000
Caption and Photo credit: Kompas/Mathias Hariyadi
Source: Database Kliping MATHIAS HARIYADI
125.160.216.33
Seabad Perjalanan Bangsa, Semangat Baru TVRI
KOMPAS - Selasa, 04 Jan 2000 Halaman: 9
Penulis: HARIYADI, MATHIAS
Ukuran: 4355
Nilai istimewa acara ini memang itu, tetapi sesuai dengan misinya yakni mengembalikan "kebenaran" fakta sejarah. Bisa dimengerti mengapa pada acara ini lalu hadir Dr Anhar Gonggong (sejarawan), Anas Urbaningrum (aktivis), Abdul Hakim (pejuang), Al Sastrouw Ng, dan perupa H Hardy (pengamat) dalam sebuah diskusi talk show tentang perlunya melihat sejarah masa silam guna meretas era sejarah baru.
Atau seperti kata Prof Fuad Hassan dalam pidato kebudayaannya dengan kutipan ucapan dari filosof Spanyol Jose Ortega y Gasset, katanya, "Bukankah hakikat manusia justru adalah kesejarahannya? (Man has no nature; what he has is history)."
Di sinilah segala seruan nyaring Leo Kristi lewat tembang Fajar, Nyanyian Malam, Nyanyian Tambur Jalan dan Franky Sahilatua dengan Bendera, Ewada dan Perahu Retak-nya menjadi sangat bergema. Apalagi ketika acara yang dipandu secara duet oleh Munyati Sulam dan Purnawa Suwardi ini diberi aksentuasi Prof Fuad dengan kutipan kata-kata ini; "Di atas tanah yang sama ini kita semua berdiri, dan di atas air yang sama pula ini kita berjanji..."
(Mathias Hariyadi)
SAYANG ANAK - Setiap kali naik pentas, Leo Kristi hampir tak pernah lupa mengajak anaknya naik panggung. Saat tampil memeriahkan acara TVRI bertajuk Seabad Perjalanan Bangsa yang ditayangkan secara langsung dari Auditorium TVRI Jl Gerbang Pemuda Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (30/12), Leo juga menyertakan anak-istrinya. Bahkan segala tingkah laku polah kedua anaknya dan sketsa-sketsa istrinya itu mampu memberi aksentuasi tersendiri pada pentas ini.
Written and posted by Mathias Hariyadi
Published by Kompas, Tuesday 4 January 2000
Caption and Photo credit: Kompas/Mathias Hariyadi
Source: Database Kliping MATHIAS HARIYADI
125.160.216.33
Seabad Perjalanan Bangsa, Semangat Baru TVRI
KOMPAS - Selasa, 04 Jan 2000 Halaman: 9
Penulis: HARIYADI, MATHIAS
Ukuran: 4355
No comments:
Post a Comment