Kolaborasi Perkusi Djaduk-Harry-Raka
Antara Radikalisme dan “Kegendengan”
Antara Radikalisme dan “Kegendengan”
HARRY Roesli dan DKSB (Depot Seni Kreasi Bandung) menyulapblek-blek bekas tempat minyak atau kerupuk menjadi instrumen musik.Lewat musik kaleng ini, mereka memotret fenomena kekerasan, kebiadabanmanusia sekaligus memuntahkan lewat bahasa gambar.
Karena itu sebuah layar monitor dan sebuah dipan melengkapi tumpukan blek yang berserakan memenuhi seluruh sudut panggung. Inilah properti utama Apologi Batas, konser perkusi kelompok DKSB di Gedung Kesenian Jakarta, Jumat (30/7) malam lalu.
Visualisasi foto dan video kekerasan di layar monitor tampil bersamaan dengan adegan sadis, ketika seorang di atas dipan sedang meregang ajal karena lehernya digorok dan kepalanya dipalu pembunuh bertangan dingin. Begitu radikalnya pemandangan fenomena kebiadabanmanusia-sementara di layar monitor tersaji video rekaman "proses" pembunuhan-Harry sampai minta maaf berulang kali kepada penonton. "Bila tak tahan menyaksikan, harap jangan pernah ragu menutup mata. Ini saya tampilkan bukan karena mau cari sensasi, namun lebihkarena pertimbangan estetika," ungkapnya.
Harry sengaja menampilkan fenomena kekerasan secara radikal alias tanpa tedeng aling-aling. Adegan mutilasi, penggorokan, pencincangan tubuh, menjadi satu paket bersama dengan permainan musik blek. Dan mereka memainkannya secara radikal: dipukulnya blek-blek itu dan tak jarang ditendang, didepak, atau tumpukannya dirubuhkan secara kasar sehingga muncul efek suara breng...
Mendadak sejumlah penonton dilanda rasa muak dan ingin muntah. Apologi Batas menyulut itu, karena radikalisme memotret kekerasan di sini dilakukan tanpa reserve sedikit pun.
***
RADIKALISME Harry dalam Apologi Batas dan Djaduk Ferianto yang gendeng dalam Meja (Agak) Hijau, didukung Butet Kartaredjasa dankelompok musik Kua Etnika. Jadilah Meja (Agak) Hijau ini sebuahrepertoar musik teater yang menarik, ritmik, dan tentu saja kocak. Dan Djaduk memilih pemukul kenong (nama instrumen gamelan) untuk mengabadikan sebuah peristiwa penting namun sarat rekayasa politik. Itulah proses peradilan Soeharto.
Berbusana jas hujan ponco, Djaduk (panitera) dan para musisi Kua Etnika (seorang berperan jaksa dan lainnya pembela) berdiri mengelilingi meja. Inilah dlogok-nya Kua Etnika yang mampu memfungsikan meja kayu sebagai instrumen yang melahirkan musik yang indah ketika papan atas meja itu ramai-ramai dipukuli.
Sementara sebuah kursi kosong di tengah panggung menjadi pusat perhatian. Inilah simbol tokoh pesakitan di mana harus duduk Sang Terdakwa (suara diisi Butet), seorang mantan pemimpin nasional. Namun karena terdakwa terhormat itu orang Jawa-sementara posisi sebagai kawula mengharuskan aparat penegak hukum itu harus menaruh hormat dan loyal-maka terpaksalah Djaduk dan kawan-kawan menyapa Sang Terdakwa itu dengan sebutan "Saudara Bapak...".
Kegendengan Kua Etnika muncul saat menghadapi Sang Terdakwa. Tanpa ba-bi-bu lagi, mereka berganti baju, dilepaslah "seragam" pengadilan untuk diganti dengan busana khas Jawa gaya Yogyakarta lengkap dengan blangkon mondolan dan melakukan sembah.
"Jadi, bagaimana dengan Bapaknya?," kata Butet di balik layar menirukan rekaman pembicaraan telepon Habibie-Ghalib yang membuat heboh itu. Komentar yang langsung menyulut gerr yang panjang. Begitu pula ketika gerak tangan yang sangat ritmik dan seragam diolah Djaduk untuk melambangkan loyalitas mereka terhadap "titipan" atasan atas proses peradilan yang penuh tipu-tipu itu. Tak heran, pentas ini pun lalu resmi bernama Meja (Agak) Hijau yang batas antara tragedi dan komedi begitu tipis.
***
FENOMENA kekerasan dan rekayasa politik penuh tipu-tipu juga menjadi kajian refleksi musisi Bali, I Gusti Kompyang Raka. Detak Revolusi Menentang Selaras mengekspresikan itu secara radikal sekaligus masif. Diawali bunyi gamelan Bali yang dinamis, sejumlah penari disertai seorang pedanda (pendeta) mengambil posisi di pusat panggung untuk menari dan memuncratkan air suci kepada 25 pemusik. Agak ke belakang, sebuah pura kecil berdiri dengan asap dupa yang harum mewangi.
Detak Revolusi Menentang Selaras adalah simbol pemberontakan batin orang Bali atas terjadinya dekadensi nilai-nilai moral. Budaya kekerasan dan rekayasa politik telah melahirkan nausea (rasa muak dan jenuh). Sementara panggilan nurani tetap menuntut harus setia pada
nilai-nilai konvensional.
nilai-nilai konvensional.
Namanya saja pentas perkusi kolaborasi tiga musisi. Di ujung pentas ini, dengan lancar masuklah Harry dan Djaduk nimbrung ke dalam repertoar Raka. Keberadaan blek-blek kaleng memfasilitasi mereka bisa "masuk" ke Detak Revolusi Menentang Selaras. Begitu pula Soni (7),
pemusik jalanan, yang di awal pementasan sempat menyanyikan sejumlah lagu penuh kritik. "Sebuah pentas perkusi yang menarik, segar, dan kocak," ungkap pengamat musik Arjuna Hutagalung. (Mathias Hariyadi)
pemusik jalanan, yang di awal pementasan sempat menyanyikan sejumlah lagu penuh kritik. "Sebuah pentas perkusi yang menarik, segar, dan kocak," ungkap pengamat musik Arjuna Hutagalung. (Mathias Hariyadi)
SIDANG DAGELAN - Para aparat penegak hukum-diantaranya Panitera (Djajuk Ferianto, tengah)- dengan penuh hormat melakukan sembah kepada "Saudara Terdakwa" dalam pentas perkusi Meja (agak) Hijau di Gedung Kesenian Jakarta, Jumat-Sabtu (30-31/7) malam lalu.
Written and posted by Mathias Hariyadi
Published by Kompas, Sunday 1 August 1999
Photo Credit: Kompas/Eddy Hasbi
Caption credit: Kompas/RYI
Database Kliping MATHIAS HARIYADI
125.160.216.33
Kolaborasi Perkusi Djajuk-Harry-Raka:
Antara Radikalisme dan Kegendengan
KOMPAS - Minggu, 01 Aug 1999 Halaman: 1
Penulis: HARIYADI, MATHIAS
Ukuran: 5426
No comments:
Post a Comment