Nate Thayer, Pembuka Mister Pol Pot
ISU bahwa Pol Pot (69) mati karena malaria tanggal 5 Juni 1996 lalu, ternyata tak benar. Petinggi Khmer Merah yang diberitakan dikubur sehari setelah meninggal di Phnom Malai itu masih hidup, meski untuk bisa berjalan pun ia harus dipapah orang lain. "Saudara Nomor Satu" itu kini masih ada di hutan Anlong Veng, sekitar 310 km arah baratlaut Phnom Penh, markas rahasianya.
Delapan belas tahun lamanya Pol Pot "menghilang", setelah rezim Demokratik Kamboja (DK) yang memerintah Kamboja periode 1975-1978 jatuh. Penampilan terakhir di depan umum pria bernama asli Saloth Sar ini terjadi awal 1979, ketika ia diwawancarai wartawan Jepang di persembunyiannya. Itu terjadi tak lama setelah invansi pasukan Vietnam ke Kamboja, menjelang Natal 1978, yang memaksanya dan pasukan Khmer Merah menyingkir ke Anlong Veng.
Teka-teki tentang pria kelahiran Prek Sbauv, 25 Mei 1928, mulai terjawab Minggu, 27 Juli lalu. Nate Thayer (37), wartawan majalah Far Eastern Economic Review (FEER) yang berkedudukan di Bangkok, Thailand, membuat kejutan besar.
"Saya baru saja tiba dari Anlong Veng, Sabtu lalu (26 Juli 1997-Red), dan melihat dengan mata kepala sendiri, Pol Pot ada di situ. Ia masih hidup, tapi terlihat sangat pucat," katanya di hadapan puluhan wartawan di Bangkok akhir bulan lalu.
Dunia langsung terkesiap. Rakyat Kamboja yang pernah merasakan kebrutalan Khmer Merah langsung memaki Pol Pot. Mereka meneriakkan agar Pol Pot segera diseret ke Phnom Penh, biar semua rakyat Kamboja bisa menghukumnya.
***
SEJARAH mencatat Pol Pot sebagai "arsitek" pembantaian dua juta rakyat Kamboja selama DK berkuasa di Kamboja tahun 1978-1979. Maraknya seruan dunia internasional yang menghendaki Pol Pot dibawa ke pengadilan internasional guna mempertanggungjawabkan kejahatannya melawan kemanusiaan, melengkapi klimaks "pencarian" dunia internasional atas Pol Pot.
Thayer beruntung, karena hanya dialah yang mendapatkan "undangan istimewa" dari petinggi Khmer Merah untuk menyaksikan "pengadilan" Pol Pot. Pria kelahiran Boston, Massachusetts, Amerika Serikat, tanggal 25 Juli lalu menjadi orang asing pertama yang berhasil melihat sendiri
dari jarak dekat kondisi Pol Pot sejak diberitakan "menghilang" 18 tahun lalu. Ia juga menyaksikan proses jalannya persidangan yang mengadili Pol Pot.
Tentu ada keistimewaan tersendiri mengapa wartawan kolektor berbagai jenis senjata api itu bisa "dekat" dengan para petinggi Khmer Merah. Kalangan pers yang biasa meliput Kamboja dan sekitarnya tahu betul, sebagai reporter Thayer sudah menjejakkan kakinya di Kamboja mulai awal 1980 lalu. Sejak itu, kiprah lelaki berpostur tinggi besar dan selalu plontos itu tak pernah jauh dari kawasan Kamboja, Myanmar, dan Thailand. Thayer aktif meliput setiap peristiwa perang dan konflik bersenjata antarfaksi yang selama ini menjadi warna tersendiri dalam sejarah politik kontemporer Kamboja.
Tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan Kamboja, kata sejumlah wartawan, Thayer adalah nama penting. "Ia salah satu wartawan asing yang punya jaringan kontak intensif dengan sejumlah petinggi Khmer Merah. Ia berhasil mendapatkan hal itu setelah bertahun-tahun aktif meliput berbagai konflik bersenjata antar faksi di Kamboja," ujar seorang koleganya sebagaimana dikutip AFP, Senin (28/7) lalu.
***
THAYER, mantan koresponden Associated Press, juga dikenal sebagai pribadi dengan inner zest luar biasa. Thayer tak segan turun ke lapangan (on the spot). Ia jarang kelihatan ciut saat terjun langsung di medan perang agar bisa mendapatkan hasil liputan seriil mungkin tentang tragedi terburuk dalam sejarah umat manusia: perang.
Ia membayar mahal atas kenekatannya itu. Salah satu telinganya tuli akibat terkena pecahan peluru saat meliput pergolakan Khmer Merah melawan pasukan Vietnam tahun 1980 lalu. Dibandingkan dengan 20 warga Kamboja yang bersamanya dalam sebuah bus, ia lebih beruntung. Semua teman penumpangnya tewas saat bus itu menabrak sebuah ranjau yang dipasang pasukan Khmer Merah, 15 Oktober 1989.
Kenekatan dan kelihaian membina relasi dengan para narasumbernya itulah yang mengantar dia bisa menjalin kontak-kontak rahasia dengan sejumlah petinggi Khmer Merah. Namun, kedekatannya dengan para petinggi Khmer Merah tak jarang mengundang kritik pedas dari para pekerja sosial. Mereka yang banyak berkiprah membantu para pengungsi Kamboja di kawasan perbatasan dengan Thailand tak suka melihat Thayer bergaul akrab dengan para pembantai dua juta rakyat Kamboja.
Ia berhasil membangun perasaan aman di hati para petinggi Khmer. Itulah yang mengantar mantan koresponden majalah Soldier of Fortune ini bisa mendatangi Anlong Veng, di mana petinggi Khmer Merah, termasuk Pol Pot, bersembunyi selama 18 tahun hingga tak pernah terendus pers dan bahkan oleh pemerintah Kamboja sendiri. "Selamat datang di zona pembebasan," ujar juru bicara Khmer Merah, Mak Ben, menyambut kedatangan Thayer di markas rahasia mereka di kawasan Pegunungan Dong Rek, awal Juli 1996 lalu.
Berkat Thayer, dunia tahu era kepemimpinan Pol Pot di jajaran Khmer Merah sudah berakhir, tak lama setelah "pengadilan rakyat" dengan saksi 500 anggota Khmer Merah menyatakan Pol Pot dan tiga anggota klik "lingkaran dalam" yang selama ini menyertainya, terbukti bersalah. Mereka terbukti telah melakukan pembunuhan, perkosaan, korupsi, dan menghancurkan "perdamaian nasional".
***
"BERCELANA panjang longgar warna hitam dengan kombinasi baju putih dan berbalut syal biru di lehernya, Pol Pot tiba di 'ruang' pengadilan dengan cara dipapah. Ia tampak pucat pasi dan terlihat sangat 'sakit'. Selama sidang berlangsung, pancaran sinar matanya sangat redup dan
wajahnya tanpa ekspresi. Tatapan matanya kosong dan sesekali Pol Pot terlihat mau menangis," jelas Thayer mencoba menangkap gejolak perasaan Pol Pot selama disidang. Pol Pot terlihat sangat traumatik dengan pengadilan itu. Tambah Thayer, "saya malah sempat berpikir waktu itu ia telah mati."
Pengadilan digelar oleh mantan anak buahnya, kata Thayer, karena mereka telah muak dengan Pol Pot. Terlebih setelah menyaksikan kekejian Pol Pot yang dengan entengnya mengeksekusi mantan Menhan Son Sen bersama 11 anggota keluarganya, 13 Juni lalu. "Setelah ditembak, ke-12 mayat itu lalu digilas truk. Pol Pot-lah yang memerintahkan itu semua," kata Perdana Menteri I Kamboja, Pangeran Ranariddh, waktu itu.
Itulah ungkapan protes gerilyawan Khmer Merah yang kini memberontak terhadap kepemimpinan Pol Pot. Menurut Thayer, arus pembelotan itu mencapai klimaksnya ketika "pengadilan rakyat" itu memutuskan mengganjar Pol Pot dengan hukuman penjara seumur hidup.
"Era kepemimpinan Pol Pot telah selesai... Rezim Khmer Merah yang selama ini terus membayangi rakyat Kamboja hingga dicekam ketakutan,sudah tak ada lagi," katanya di Bangkok, 27 Juli, seraya menambahkan, ia siap menjual foto-foto ekslusifnya tentang Pol Pot kepada siapa pun asal berani membayar 100.000 dollar AS.
***
WARTAWAN nekat dan beruntung ini tengah menyiapkan sebuah buku tentang Khmer Merah. Ia mengatakan, kepergiannya ke Anlong Veng Juli lalu bersama David McCage, juru kamera jaringan teve AS Asiaworks yang berbasis di Bangkok. Secara berkala, ia menyibukkan diri menjadi peneliti di Pusat Studi dan Stategi Internasional Universitas John Hopkins, AS.
Sesuai dengan janji Do Jones and Co., penerbit FEER, 27 Juli lalu, laporan eksklusif pertemuan Thayer-McCage dengan Pol Pot telah muncul dalam FEER edisi Kamis (7/8). Mereka yang ingin mengetahui proses terkuaknya tabir misteri Pol Pot, sebaiknya membaca sendiri laporan Thayer-McCage itu. Begitulah Thayer, anak mantan seorang dubes AS di Singapura itu, telah memahkotai dirinya sebagai wartawan.
(Mathias Hariyadi)Written and posted by Mathias Hariyadi
Published by Kompas, Monday 11 August 1997
Photo credit: AP/Nate Thayer
Database Kliping MATHIAS HARIYADI
125.160.216.33
Nate Thayer, Pembuka Misteri Pol Pot *Box
KOMPAS - Senin, 11 Aug 1997 Halaman: 24
Penulis: HARIYADI, MATHIAS Ukuran: 8201
No comments:
Post a Comment