GAGAL meraih cita-cita luhur yang tertanam sejak kecil tak selalu berakhir dengan kegagalan meniti karier hidup. Sebaliknya, hal itu bisa jadi malah menjadi awal sejarah hidup yang sukses. Kenyataan itulah yang dialami Ir Mangantar S, Dipl. HE (49).
Ia gagal masuk Akabri tahun 1968 silam. "Saya tak lulus ujian psikotes. Barangkali memang sudah garis tangan saya tidak menjadi tentara, tapi pegawai negeri," kata pria kelahiran Desa Simatupa, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara ini, di base camp Proyek Pengairan Irigasi Pulau Buru di desa Waenetat, Mako, Kecamatan
Kegagalan itu sempat membuat Mangantar frustrasi. Untuk mengobati kekecewaannya, setahun kemudian ia masuk Fakultas Teknik Sipil di Universitas Sumatera Utara. Ia lulus sarjana muda teknik sipil tahun 1975 dan langsung mengawali kariernya sebagai pegawai negeri di Dinas Pekerjaan Umum
Di tengah kesibukan bekerja, ia masih nyambi kuliah. Hasilnya, tahun 1980 ia diwisuda menjadi insinyur sipil. Sebagai pegawai negeri, tahun 1985 ia mendapat kesempatan belajar setahun di International Hydraulic Engineering Deflt, Belanda. Sepulang dari Belanda itulah, satu gelar yakni Diploma Hydraulic Engineering (Dipl. HE) ikut menghiasi namanya.
Ada alasan kuat melatari pernyataan itu. Pertama, demikian pengakuannya, Mangantar merasa sukses membina hidup rumah tangga dengan wanita pujaannya: Ny Dewi Kania (38) asal Purwokerto, Jateng. Mereka dikaruniai anak bernama Kasih Juwita Simatupang (3) setelah 13 tahun menikah. Kedua, anak ketiga pasangan Casianus Simatupang-Ny Armina boru Pangaribuan-keduanya sudah almarhum-kini menjadi "orangpenting" di Pulau Buru.
Sebagai Pemimpin Proyek Irigasi ia bertugas membangun jaringan saluran-saluran irigasi agar Pulau Buru bisa diairi. "Saya sendiri sempat merasa ngeri, begitu mendapat penugasan di Pulau Buru. Mendengar pulau itu saja sudah memunculkan perasaan tak enak. Apalagi harus bekerja di sana selama beberapa tahun dan itu belum jelas sampai kapan akan berakhir. Tapi, itu dulu. Sekarang senang dan bahagia," katanya.
Pada tahun 1991 itu yang disebut "kantor" masih berupa barak atau kamar-kamar sederhana. Kini, enam tahun kemudian, barak "kantor" itu telah berubah wajah. Yang dulunya hanya berupa rumah-rumah bedeng kini telah menjadi bangunan permanen, lengkap dengan aliran listrik selama 24 jam.
Begitu pula sarana informasi dan rekreasi seperti pesawat TV dengan dua unit antene parabola sudah terpasang. Ada juga sarana olah raga seperti lapangan tenis, bulu tangkis, dan voli. Untuk membunuh kejenuhan, Mangantar kolam-kolam ikan mas di kompleks basecamp seluas 0,5 hektar. "Sekarang jumlah ikan mas itu 10 ribuan ekor," ujarnya bangga.
Padahal, tahun 1991 lalu-saat Mangantar menginjakkan kakinya pertama kali di Pulau Buru- luas jaringan irigasi di pulau seluas 1,5 Pulau Bali itu masih sangat sederhana. Itu pun luasnya hanya sekitar 1.800 Ha, hasil pengembangan tahun 1980.
Memang tugas Mangantar belum tuntas. Tantangan berikutnya, tugas mengembangkan jaringan-jaringan irigasi tersier agar lahan potensial seluas 17.364 hektar mampu berproduksi optimal.
Hasilnya? Tahun 1990-an, panen padi sawah dengan pola irigasi sederhana hanya mampu menghasilkan beras sebanyak 2,5 ton/ha per panen selama sekali musim tanam dalam satu tahun. Enam tahun kemudian-ketika jaringan irigasi teknis sudah diterapkan di 11 lokasi pengembangan warga trans-hasilnya berangsur mulai berlipat ganda. Kini mencapai 4,5-6 ton/ha sekali panen. Padahal, setahun bisa terjadi dua kali musim tanam di lahan produktif.
Itu berakibat O & P jaringan irigasi tak bisa terlaksana secara optimal. Padahal, tambahnya, para petani itu sudah dibebani tanggung jawab pemeliharaan di tingkat jaringan tersier dan sudah berpartisipasi membayar iuran pelayanan air (IPAIR) irigasi. "Sementara Pemda Dati I yang bertanggung jawab tak bisa memenuhi sepenuhnya biaya yang diperlukan," tandasnya.
Kondisi yang macam itu memancing kreativitasnya. Ujung-ujungnya, Mangantar mengusulkan solusi alternatif mengenai model pembinaan petani. Tujuannya, membina para petani yang tergabung dalam P3A agar mereka bisa membiayai sendiri segala keperluan O & P.
"Para pengurus P3A dari seluruh wilayah daerah irigasi (DI) di lingkungan proyek, termasuk petugas Dinas Pertanian dan pimpinan Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) wilayah P Buru ternyata menyambut baik gagasan itu," katanya.
Hanya saja, sumber biaya tetap jadi masalah. Jalan keluarnya, memanfaatkan peralatan bekas milik proyek, seperti generator kapasitas 5.000 watt, mesin diesel beserta generator berdaya 3.000 watt, untuk dikomersialkan lewat bisnis perbengkelan.
Di ruangan ukuran 8 x 7 meter bekas basecamp proyek Bina Marga di tepi jalan Poros Namlea di Desa Savana Jaya itulah P3A Mandiri menjual jasa charge aki, las listrik, tambal ban, dan lain-lain. Hasil usaha ini akan dipakai untuk menutup biaya O & P jaringan irigasi mulai dari tersier sampai sekunder. Untuk mempertahankan kesinambungan perawatan pola P3A, Mangantar juga akan memberikan 10 buah sepeda kumbang kepada sejumlah pengurus yang loyal.
Meski sudah berbuat banyak untuk Pulau Buru, Mangantar belum puas. Obsesinya menjadikan Pulau
Photo credit: Kompas/Mathias Hariyadi
Written and posted from Pulau Buru, Maluku Tengah
Edi Danu Puspito also joined me in the mission to Pulau Buru.
Later, Ir Mangantar was reported among the dead victims when a ferry boad sank in Lombok Bay in 1999.
Published by Kompas, Tuesday 13 May 1997
Original title was Ir Mangantar dan Irigasi Pulau Buru
Database Kliping MATHIAS HARIYADI
222.124.79.135
Ir Mangantar dan Irigasi Pulau Buru *Box
KOMPAS - Selasa, 13 May 1997
Halaman: 24 Penulis: RYI/EDU Ukuran: 8223
Ir Mangantar
No comments:
Post a Comment