MENGAPA ikan asin? Mengapa Mekhit yang jahat itu bisa bebas? Apakah setiap tindak kolusi selalu berakhir begitu? Mengapa setting ceritanya di (zaman) Hindia Belanda, bukan sekarang? Bukankah kalau setting-nya sekarang persoalannya jadi lebih jelas?
Di gedung pertunjukan Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (GBB-TIM) Jakarta, Kamis (8/4) sore, sutradara N Riantiarno mendapat pertanyaan bertubi-tubi dari sejumlah siswa berseragam putih abu-abu. Para penanya itu, bersama sekitar 600 siswa SMU lainnya yang datang dari berbagai wilayah DKI Jakarta, siang itu berkesempatan menyaksikan cuplikan Opera Ikan Asin, sebuah lakon yang dimainkan Teater Koma mulai Sabtu (10/4) malam hingga 24 April mendatang di GBB-TIM.
Menanggapi rentetan pertanyaan itu, N Riantiarno yang sehari-hari akrab dipanggil Nano, dengan sigap menjawabnya satu per satu. Sambil berdiri tegak atau sesekali di atas panggung, dengan gaya kebapakan, Nano menceritakan bagaimana proses terpilihnya Opera Ikan Asin untuk dipentaskan, menandai ulang tahun ke-22 Teater Koma.
Sesuai tradisi demokrasi yang dibangun komunitas Teater Koma sejak didirikan 1 Maret 1977, semua anggota berhak mengajukan pendapat terhadap calon naskah yang akan ditampilkan. Saat itu ada tiga naskah yang disodorkan, yakni Presiden Burung-burung (naskah baru karya Nano), Opera Kecoa yang pernah digelar tahun 1985, dan Opera Ikan Asin hasil adaptasi dari The Threepenny Opera-nya Berthold Brecht yang juga pernah dipanggungkan tahun 1983. Setelah didiskusikan, tutur Nano, ternyata secara aklamasi semua sepakat memilih Opera Ikan Asin.
Suasana lalu jadi sedikit gaduh, namun dari suara-suara yang muncul bisa disimpulkan hampir semua anak suka ikan asin. Ikan asin, lanjut Nano setelah mendengar komentar para siswa, adalah metafora yang bisa mewakili segala kalangan. Meski ikan asin itu banyak jenis dan harganya, namun satu hal yang tetap melekat: ikan asin itu bau!
Anehnya, meski bau orang tetap suka. Segala lapisan masyarakat (baca: Indonesia, meski di lakon ini setting-nya adalah zaman Hindia Belanda) akrab dengan ikan asin. Ada ikan asin berkualitas jelek dan murah, tetapi ada juga yang sebaliknya. Yang murah bisa jadi simbol kelas bawah, yang mahal simbol kelas atas. Di sini terlihat, ikan asin bisa mewakili dua kekuatan yang berbeda kepentingan; dua kelas sejak dulu selalu dipertentangkan tetapi sesungguhnya keduanya saling membutuhkan.
"Dengan mengambil ikan asin sebagai metafora, ada perasaan bersama yang ingin diungkapkan. Sekarang kita 'kan bingung dengan situasi politik yang tak menentu. Korupsi, kolusi, dan nepotisme alias KKN yang terjadi, juga tak bisa dibuktikan. Tidak demikian di Opera Ikan Asin, semua ada dan transparan. Di tengah situasi serba tak pasti dan membingungkan itu, dengan 'ketelanjangannya' tontonan ini ingin mengungkap itu semua," papar Nano.
Bahwa setting yang dihadirkan adalah Batavia pada masa Hindia Belanda tahun 1925, bagi Nano, hal itu terkait dengan sifat kesenian itu sendiri yang memang tidak selalu pas dengan fakta. Sifat lain kesenian tidak matematis. Bahwa dalam kisah ini tokoh Mekhit alias Meki (mendengar nama ini para siswa tertawa cekikikan) alias Mat Piso Si Raja Bandit yang jahat yang berkolusi dengan sang Komisaris Polisi Kartamarma akhirnya dibebaskan Gubernur Jenderal Batavia dari tiang gantungan, menurut Nano ceritanya memang demikian.
"Kenyataannya memang begitu. Tapi kok ada yang bebas, ini juga pertanyaan kita semua. Jawabnya tentu ada pada Gubernur Jenderal yang tidak kelihatan. Siapakah dia? Imposibble! Dan kini pertanyaan itu jadi pertanyaan kita semua," kata Nano. Meski ber-setting-kan peristiwa di zaman Hindia Belanda, lakon Opera Ikan Asin diakui Nano sangat dekat dengan peristiwa keseharian negeri ini: pada saat ini. Setiap hari orang disodori pilihan paling mendasar antara soal perut dan moral; antara berbuat untuk kebaikan atau sebaliknya tergoda untuk berbuat kejahatan. Inilah moral cerita Opera Ikan Asin. Seperti bisa disimak dalam kehidupan sehari-hari, logika, etika, dan estetika dikalahkan logika ekonomi.
"Akan tetapi kalau saudara-saudara mementingkan perut, berarti saudara sama dengan kerbau," kata Nano mengingatkan lewat lakon yang menurutnya "sangat mengritik kemandekan dan status quo lantaran itu kini menjadi masalah kita bersama."
Sebelum pertunjukan yang diakhiri tanya-jawab itu berlangsung, di Lobby GBB-TIM guru-guru mereka terlebih dahulu terlibat dialog serius dengan anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Entah karena faktor kebetulan atau memang sengaja dirancang, bertindak mewakili DKJ adalah Ratna Riantiarno. Ratna adalah istri Nano, salah satu tokoh pendiri Teater Koma. Bagi DKJ dan Teater Koma, menghadirkan para guru dan siswa SMU ke TIM sembari menyaksikan cuplikan pementasan Opera Ikan Asin bukan tanpa tujuan. Paling tidak ada dua kepentingan bertemu di sana. DKJ lewat program "Pembinaan Apresiasi Seni Pertunjukan"-nya menggiring minat anak pada kegiatan kesenian pada umumnya, Teater Koma bisa memanfaatkan momentum ini untuk membina kebiasaan calon penontonnya.
"Sekarang kami memang bergerak untuk menumbuhkan apresiasi di kalangan siswa-siswi SMP/SMU, seperti dilakukan Ratna dengan program DKJ-nya. Program semacam ini harus kita lakukan. Kita tidak boleh mencaci maki sana-sini karena penonton tidak datang, padahal kita sendiri tidak berusaha apa-apa. Melalui program ini kita nggak mengharapkan anak sekolah jadi seniman. Itu memang tidak usah. Bila mereka apresian saja sudah bagus, atau tidak nonton tetapi mereka menghargai kesenian," ujar Nano.
Langkah yang ditempuh pasangan suami istri dari Teater Koma ini ibarat orang menabung. Jika banknya tak bangkrut atau tidak berubah status jadi bank beku operasi (BBO) lalu dilikuidasi, kelak mereka pula yang menuai bunga hasil dari tabungan itu. Dengan menyodorkan makanan berupa "ikan asin", benih calon penonton itu pun mereka tebar hingga ke sekolah-sekolah... (ken/ryi)
Co-written by Mathias Hariyadi & Kenedi Nurhan
Published by Kompas, Sunday 11 April 1999
Halaman: 1
Penulis: KEN/RYI
Ukuran: 6453
No comments:
Post a Comment