Wednesday, 28 May 2008

KRI TNI AL, Tambatan Hati Pemudik

Kembali dengan Kapal Perang

AREAL tepi dermaga Pelabuhan Panjang, Bandarlampung, hari Minggu (25/2) menjadi pasar mendadak. Jual beli dilakukan dengan cara saling lempar. Maklum, penjual ada di dermaga, dan pembeli ada di geladak KRI Multatuli MA yang tengah lego jangkar sembari menunggu penumpang.

Para penjual melontarkan barang dagangannya dari bawah. Di atas kapal perang itu, para penumpang yang berjejer-jejer membentuk barisan pagar betis, tinggal menangkap barang-barang yang mereka pesan. Setelah barang didapat, penumpang di kapal tinggal melempar uang ke arah si pedagang yang siap menangkapnya di bawah.

Melempar uang pun harus dengan cara tersendiri. Salah-salah uang kertas bisa melayang terbawa angin, lalu nyemplung ke laut. Tak jarang botol aqua salah alamat, menimpa jidat-jidat penumpang lain yang tidak berniat membeli. Kalau itu yang terjadi, akan berbuah sumpah serapah, dan barang tak kembali ke pedagang.

Di luar adegan lucu-lucu konyol itu, para pedagang dadakan kelihatan sangat menikmati jerih payahnya. "Lumayan, baru setengah jam berdiri saya sudah laku menjual dua kardus aqua kemasan besar," kata Puadi (45) dengan wajah berseri.

Air mineral kemasan besar ia jual Rp 2.000 per botol, padahal modalnya hanya Rp 900 per botol. Setiap kardusnya berisi 12 botol. Kalau ia berhasil menjual dua kardus, untungnya Rp 26.400, dan itu diperoleh hanya dalam waktu setengah jam. Ini belum penghasilan dari minuman kaleng yang dijualnya Rp 3.000, dengan harga beli Rp 1.250. Sesuai namanya yang kagetan, transaksi dagang ini berlangsung hanya sekilas. Boleh jadi hanya dua jam, yakni saat menunggu KRI Multatuli diberangkatkan membawa penumpang ke Jawa setelah mudik lebaran di Sumatera. Tetapi naluri bisnis masyarakat seputar Pelabuhan Panjang ini, patut diacungi jempol!

Pada tepian dermaga, KRI Multatuli MA yang bernomor lambung 561 dengan kapasitas penumpang sebanyak 1.000 orang itu dengan sabar menunggu "penumpang istimewa" meniti tangga kapal satu per satu. Disebut "penumpang istimewa", sebab seluruh penumpang yang jumlahnya mencapai 960 orang itu, merupakan para pemudik balik yang akan dibebaskan dari segala biaya alias gratis. Mereka adalah para pemudik yang akan kembali berjuang di tanah Jawa setelah berlebaran di kampung halamannya, Sumatera. Mereka adalah bagian dari "arus balik" para penumpang yang akan kembali ke Jakarta dan kota sekitar.

Pardi (30), buruh pabrik yang bekerja di pinggiran Jakarta mengakui, mudik balik dengan menumpang kapal perang baru pertama kali ini ia lakukan. "Kebetulan saja tadi pagi saya baca berita di Kompas, lalu saya putuskan datang ke sini (Pelabuhan Panjang-Red)," kata Pardi sambil antri.

Ikut menumpang kapal perang untuk pertama kalinya juga dialami Hamdani (48), seorang buruh bangunan yang mengaku termasuk salah seorang korban "Tragedi Merak" sehari sebelum Lebaran. Ia semaput dan benar-benar pingsan saat berada di Merak untuk menyeberang ke Bakauheni. Menurut dia, jauh lebih baik naik di Pelabuhan Panjang dengan naik KRI daripada harus berdesakan di Bakauheni.

"Bukan soal gratisnya, tetapi saya kapok kalau sampai pingsan lagi seperti di Merak," kenang Hamdani sambil tersenyum kecut. Lain lagi pengalaman Isap (19), buruh di Tangerang yang mengaku berasal dari Talangpadang, Lampung Selatan. Sebelumnya, ia merasa ngeri naik kapal perang.

"Habis gimana ya? Begitu mendengar nama kapal perang, yangterlintas di benak saya justru duduk di dekat torpedo atau meriam. Tapi untunglah, keramahan para pelaut mampu mengusir ketakutan itu," ujarnya sambil tertawa renyah.

Kalau sikap dan perilaku para pelaut itu tampak keras dan tegas, itu jelas karena mereka adalah militer yang setiap hari tanpa putus bergulat dengan ganasnya ombak lautan. Tapi ketika berhadapan dengan sesamanya yakni para pemudik, seketika itu juga kesan keras dan kasar segera musnah. Yang tampak justru wajah simpati dan keramahan.

Menurut Komandan KRI Multatuli MA Letkol (L) Juendy, para pelaut diharuskan bersikap seperti itu agar para pemudik jangan sampai canggung naik kapal perang. Hal yang sama juga ditegaskan oleh kolega Juendy, yakni Letkol (L) Slamet Yulistiyono yang menjadi Komandan KRI Teluk Sangkurilang. "Rasanya kami bangga juga bisa melayani penumpang sipil seperti mereka ini," ujarnya kepada Kompas di anjungan kapal.

Para pemudik balik yang naik kapal perang ini termasuk penumpang yang terpaksa "dibelokkan" dari Terminal Bus Induk Rajabasa. Maksudnya, agar mereka tidak sampai berjejalan di Pelabuhan Penyeberangan Bakauheni yang siang itu memang sudah semakin padat. Mereka yang sudah berhasil meniti kapal, segera melepas lelah dengan berdiri atau duduk-duduk, menyaksikan rekan-rekan mereka yang belum naik. Sementara yang belum naik, harus sabar dulu bermain ular-ularan alias ngantri sebelum akhirnya sampai ke titian kapal.

Co-wriiten and reported by Mathias Hariyadi, Pepih Nugraha and Nal
Published by Kompas, Tuesday 27 Februari 1996

No comments: