Friday 2 May 2008

Nafsu Syahwat Tanah Abang

Gubug Dorong
Bursa Seks di Bongkaran, Tanah Abang

BERDANDAN menor dengan kaus transparan, gincu tebal, rok mini,dan parfum mencolok adalah panorama biasa di sepanjang bantaran Kali Banjir Kanal Tanah Abang, Jakpus. Di sepanjang lahan yang bersebelahan dengan rel kereta api, terlihat banyak wanita penjajaseks kelas teri tengah menunggu pelanggannya. Beberapa pasangan tampa sungkan bercengkerama dalam keremangan malam di bawah sorotan puluhan pasang mata yang melintas di situ.

Mulai dari jembatan hingga lorong-lorong gelap di sepanjang rel, ratusan lelaki hidung belang segala usia tengah berburu mangsa. Beberapa lelaki sedang menikmati minuman ringan seperti teh botol, air mineral. Di tempat lain terlihat beberapa orang menenggak botol-botol minuman keras cap kucing.

Sekelompok orang datang. Setelah beberapa menit nongkrong di bantalan rel sambil memicingkan mata mencari mangsa, tanpa ba-bi-bu lagi kerumunan itu segera berinisiatif mendekati para WTS yang tengah berkeliaran. Setelah menemukan pasangan yang cocok dengan tarif yang disepakati, para lelaki haus cinta itu segera mengajak teman kencannya mendatangi rumah-rumah petak yang dibangun di atas rel.

Orang-orang di situ menyebut bangunan gubuk yang berukuran 1 x 2 meter itu sebagai "gubuk dorong". Disebut demikian karena gubuk itu dibangun di atas rel hingga bisa didorong maju-mundur. Bila siang hari gubuk-gubuk dorong tiba-tiba "menghilang". Ternyata oleh para pemiliknya ruang kencan tersebut "disembunyikan" di tempat yang aman. Justru karena rumah kencan itu beroda di atas rel, maka begitu bisnis seks mulai surut seiring dengan datangnya pagi, rumah-rumah kencan itu lalu diamankan. Di dalam gubuk dorong yang hanyaberpenerangan lampu minyak itulah para lelaki hidung belang menyalurkan hasratnya biologisnya.
* * *
ITULAH sekilas gambaran kehidupan pria hidung belang dan kaum wanita penjaja cinta. Kehidupan mereka setiap hari hampir tak pernah lepas dari asap rokok, bir, minuman keras, obat perangsang, dan kondom. Pemandangan sejak pukul tujuh hingga dinihari itu setiap malam berlangsung di Bongkaran Tanah Abang, pusat bisnis seks papan bawah.

Bagi pria hidung belang berkantung tipis, lahan sepanjang rel itu ibarat "surga". Di situlah para kuli bangunan, kernet, sopir kendaraan umum dan pemuda pengangguran menyalurkan libidonya tanpa beban harus cemas kalau kepergok pacar atau istrinya. "Tak mungkin istri tahu kalau saya main. Lihat saja sendiri, tempatnya saja sudah kumuh. Jangankan mau datang, membayangkan keadaannya pun sudah susah," tutur Kusnanto (32), kuli bangunan asal Maos, Cilacap.

Pria mana yang tak setuju dengan pendapat Kus? Orang mau bilang apa, kalau di situ setiap laki-laki tak hanya bisa memuaskan birahinya, tapi juga bisa menyalurkan bakat berjudi. Mulai dari bola setan yang sekali pasang bisa mendapatkan "hadiah langsung" berupa uang sebesar sepuluh kali dari jumlah yang dipasang, hingga peluang memuaskan gejolak naluriah manusiawi untuk mencari kenikmatan inderawi seperti seks bebas, ajojing, minum, colak-colek.

Surga dunia seperti yang tergambar di atas itu tentu saja tak berlaku bagi Surpiah (34), wanita penghibur asal Kendal, Jateng. Baginya, kehidupan malam yang dijalaninya setiap hari itu terasa
sangat jauh dari "surga"-nya kaum lelaki. Ibarat harus minum pil pahit agar sembuh dari sakit, Surpiah terpaksa berpraktek sebagai WTS dengan honor Rp 10.000 sekali "main" agar bisa hidup. "Saya berani melakukan ini demi anak-anak saya di kampung. Tapi mungkinkah hal ini bisa saya lakukan seterusnya?," tuturnya berkaca-kaca.

Pertanyaan pesimistik Surpiah tersebut ternyata juga menjadi pangkal kegelisahan Lastri (24), WTS berkulit kuning asal Indramayu yang biasa mangkal di jembatan Kali Banjir Kanal. Selain karena masa depannya tak jelas, hampir setiap hari ia selalu dirundung kecemasan kalau-kalau dirinya sudah kena penyakit kotor semisal "jengger ayam" atau AIDS. "Dulu, ketika ada rame-rame seorang WTS kena penyakit tersebut, saya juga panik. Saya 'cuti' beberapa minggu, tapi pasokan uang ke kampung jadi menurun," katanya.

Kecemasan dan kegelisahan Surpiah, Lastri ternyata belum selesai. Selain soal-soal di atas, mereka juga takut kena razia. "Kami bukannya takut pada petugas, tapi kalau saya harus membayar Rp200 ribuan sekali kena garuk, apa kami tak jadi semakin miskin lagi?," tuturnya setengah bertanya.

Sulit dipercaya, tapi itulah potret nyata kehidupan WTS yang terpaksa melacur demi kepentingan anak-anak mereka yang tinggal di kampung. Mereka ini jelas bukan tipe manusia yang suka cari kenikmatan seks secara liar dan berlebihan. Yang terjadi justru sebaliknya, demi kepuasan birahi kaum lelaki mereka terpaksa menjual diri.

Kisah dua anak Hawa ini seakan menegaskan, Jakarta memang berlaku kurang ramah terhadap kaum urban miskin. Sebab, sementara sebagian besar penduduk Ibu Kota mulai istirahat dengan nonton TV di ruangan sejuk, ternyata Surpiah, Lastri dan ratusan koleganya malah harus bekerja keras. Itu pun dengan menjual dirinya sendiri. (Mathias Hariyadi)

Written and Posted by Mathias Hariyadi
Published by Kompas, Saturday, 4 November 1995
Source:
Database Kliping MATHIAS HARIYADI
125.160.216.33
Gubuk Dorong, Bursa Seks di Bongkaran
KOMPAS - Sabtu, 04 Nov 1995 Halaman: 8
Penulis: JJ alias Mathias Hariyadi in 1995
Ukuran: 5255

No comments: