Thursday 29 May 2008

Killing Fields, Cambodia's Legacy to the World

Khieu Samphan & Nuon Chea, Dua Arsitek Killing Fields

IBARAT sebuah lukisan, perang dan konflik politik adalah panorama utama bumi Kamboja. Selama 28 tahun terakhir, Negeri Pagoda ini nyaris tak pernah sepi perang saudara. Selama kurun waktu itu, sedikitnya dua juta orang Kamboja telah tewas. Bunyi mesiu dan bau amis darah adalah pemandangan sehari-hari di sana

Namun mulai 4 Desember lalu setidaknya hal itu takkan terjadi lagi. Itulah hari ketika gerilyawan Khmer Merah pimpinan triumvirat supremo Jenderal Ta Mok, Khieu Samphan, dan Nuon Chea mau menghentikan perlawanannya dan mau mengakui eksistensi, legalitas pemerintahan Phnom Penh. Sebuah langkah maju setahap lagi, ungkap Nate Thayer (38) dari Far Eastern Economic Review, setelah Samphan (67) dan Chea (71) 25 Desember lalu memutuskan menyerah tanpa syarat kepada pemerintah Kamboja.


Yang pasti, dua pejabat Khmer Merah ini meniru langkah "sukses" Ieng Sary dua tahun lalu: menyerah dan lalu mendapat pengampunan. Namun ternyata, Tak Mok yang berkaki satu dengan julukan "Si Penjagal" lebih suka memilih tetap tinggal di hutan dan tak mau menyerah.

Selama ini, Khmer Merah dan segala "kejahatannya" nyaris identik dengan Pol Pot. Persepsi ini tak seratus persen salah. Pol Pot alias "Saudara Nomor Satu" (bong ti muoy), yang meninggal 15 April 1998, memang sering disebut sebagai pihak paling bertanggung jawab atas aksi Khmer Merah membantai besar-besaran (genocide) sesama bangsanya sendiri, ketika Negeri Pagoda ini dikuasai rezim Demokratik Kamboja (17 April 1975-25 Desember 1979) yang dipimpinnya.


Korban keganasan Khmer Merah luar biasa: sedikitnya 1,8 juta orang telah tewas sebagai korban Revolusi Maois "Rencana Empat Tahun" yang dilancarkan Pol Pot. Dalam tragedi killing fields, peran dan tugas pasukan "barisan tani" Khmer Merah-suka berkalung selendang motif warna merah-adalah pelaksana program "Tahun Nol", sekaligus eksekutor bagi para pembangkang dan musuh revolusi.

Pol Pot tak sendiri dalam merancang revolusi berdarah gila-gilaan itu. Ikut bermain aktif-namun lebih banyak berdiri di balik layar-adalah Nuon Chea dan tentu saja Khieu Samphan. Pada masa itu, Chea dipercaya Pol Pot menjadi "orang kedua" di jajaran partai.

Karena posisinya begitu sentral sebagai tangan kanan Pol Pot, pria yang suka makan ikan ini lalu lebih dikenal dengan julukan akrab "Saudara Kedua" (prahok) yang diberikan Pol Pot. Belakangan, pria kelahiran Battambang tahun 1927 ini ditunjuk Pol Pot menjadi perdana menteri, setelah sebelumnya pernah menjabat dua kali sebagai Ketua Parlemen Kamboja tahun 1976 dan 1979.

Meski menjabat posisi penting dan strategis di birokrasi pemerintahan Demokratik Kamboja (1975-1979), keseharian hidup Nuon Chea ternyata lebih banyak bersaput "misteri". Selain dikenal luas sebagai pribadi yang cenderung pendiam, mantan mahasiswa Universitas Thammasat Bangkok, Thailand (1941-1948), ini juga lebih suka bermain di balik layar.

Kiprahnya di panggung politik dimulai ketika ia bergabung dengan Gerakan Komunis Indocina tahun 1949, tak lama setelah pulang ke Phnom Penh dari Thailand. Selama di Bangkok itulah, Chea sempat meniti karir menjadi pegawai di Kementerian Luar Negeri Thailand. Baru setelah Kamboja merdeka dari Perancis tahun 1954, Chea meninggalkan Gerakan Komunis Indocina dan mulai membentuk sebuah partai politik sendiri berhaluan kiri. Kurun tahun 1970-1975, ia ikut bertempur di garis depan melawan rezim pemerintahan Kamboja dukungan AS. Selama kurun waktu itu pula, Chea dipercaya Pol Pot menjadi ketua faksi politik sekaligus wakil komandan faksi militer Khmer Merah.


Namun, Chea lebih banyak berperan sebagai "guru" ideologi dengan tugas "mengajar" ideologi partai dan melakukan indoktrinasi. Pendeknya, "ladang" garapannya adalah bidang ideologi. Khieu Samphan lebih memerankan diri sebagai seorang konseptor strategi politik yang "bermain" di jalur diplomasi. Pol Pot mempercayakan tugas ini, karena putra penjual sayur kelahiran Propinsi Svay Rieng tahun 1931 ini sejak kecil dikenal berotak encer. Bersama Saloth Sar (nama asli Pol Pot), tahun 1954 ia dikirim ke Perancis untuk belajar.


Pol Pot gagal meraih gelar kesarjanaan. Tak demikian dengan Samphan, yang pada umur 29 tahun berhasil meraih gelar doktor bidang ekonomi di Universitas Montpellier dengan disertasinya L'Economie du Cambodge et son developpement industriel (Perekonomian Kamboja dan Perkembangan Industrialisasinya, 1959). Setelah pulang kampung, ia mendirikan l'Observateur, sebuah jurnal dwimingguan. Jurnal ini akhirnya dibredel Sihanouk tahun 1960, karena dianggap kritis terhadap pemerintah.


Para analis Kamboja berpendapat, inti pemikiran Samphan dalam disertasi itu sebenarnya merupakan blue print pertama digagas dan dirancangnya konsep pelaksanaan revolusi Maois "Rencana Empat Tahun", yang digulirkan Pol Pot ketika mulai berkuasa di Kamboja. Meski berotak cerdas, sikap Samphan sehari-hari selalu ditandai ciri antikemewahan dan kemapanan material.

Sikap itu terbawa saat ia menjadi menteri perdagangan tahun 1962 dalam pemerintahan Sihanouk. Kebiasaannya naik motor ke kantor mengundang banyak simpati di kalangan mahasiswa, namun segeramenimbulkan kebencian di jajaran birokrat. Konflik itu memuncak dengan terjadinya demo antikorupsi oleh para mahasiswa militan. Ujungnya, Samphan dituduh berada di balik aksi itu. Situasi tersebut memaksanya lari ke hutan. Sejak itu, ia masuk Khmer Merah.

Lon Nol berhasil mendepak Sihanouk tahun 1970. Namun berkat Khmer Merah, Raja Kamboja itu berhasil mendirikan Pemerintahan Kesatuan Kerajaan Nasional Kamboja (GRUNC) dengan Samphan sebagai Menhan. Ketika pemerintahan presidium terbentuk setahun setelah Khmer Merah merebut Phnom Penh 17 April 1975, Samphan pun segera diangkat sebagai Presiden (1976-1979) dan memimpin dewan menteri yang terdiri dari Pol Pot (PM), Ieng Sary (Wakil PM Urusan LN), dan Son Sann (Wakil PM Urusan Ekonomi).

Karir puncak Samphan di jajaran birokrasi Khmer Merah terjadi saat ia menjabat Wapres Pemerintahan Demokratik Kamboja di pengasingan dan kemudian Ketua Khmer Merah (1985-1991).

Pol Pot telah mati. Tak ayal, tudingan dunia internasional kepada para pemimpin Khmer Merah atas terjadinya genocide di Kamboja tahun 1975-1979 itu pun jatuh ke pundak Khieu Samphan dan Nuon Chea. Meski pemerintahan Phnom Penh didesak agar segera membawa kedua mantan petinggi Khmer Merah ini ke Mahkamah Internasional guna mempertanggungjawabkan kejahatannya melawan kemanusiaan, PM Hun Sen enggan melakukannya.

Ia sendiri pernah menjadi perwira Khmer Merah. "Kita sebaiknya mengubur dalam-dalam semua peristiwa masa lampau untuk lebih memusatkan perhatian pada masa depan. Banyak mantan anggota Khmer Merah yang telah 'bertobat' dan kini menjadi pegawai negeri. Haruskah saya sekarang membunuhi mereka untuk memulai lagi perang saudara?" katanya seperti dikutip Reuters belum lama ini. (Mathias Hariyadi)

Written and posted by Mathias Hariyadi
Published by Kompas, Sunday 3 January 1999
Sources: PIK Kompas
Halaman: 3
Penulis: HARIYADI, MATHIAS
Ukuran: 7319

1 comment:

Anonymous said...

Wah rupanya mas ini jurnalis hebat yah...tulisan lama di republished lagi?

sori nih baru sempet mampir, blognya sudah keren gini mas, gak ada lagi yg kurang :)