WAJAH suami-istri pemilik kedai kopi di Jalan Pajajaran,
"Barangkali sudah nasib saya jadi orang miskin. Kami berdua sudah tua renta. Tak ada hal lain yang bisa kami kerjakan guna menyambung hidup selain usaha kecil-kecilan seperti ini," tutur Karso Warsito, Selasa (8/10).
Saat ini, untuk mempertahankan kepulan asap dapur, Karso membuka sebuah kedai kopi. Tapi tak seperti kedai kopi modern, penampilan kedai kopi Karso-Hadidjah jauh dari apa yang bisa dijumpai di kafe-kafe kawasan Kemang Raya, Jaksel, atau di tempat lain. Jangankan alunan musik live atau para pramusaji yang ramah melayani tetamu. Yang ada di kedai kopi pinggir jalan itu hanya pisang dan singkong goreng, kopi jagung, dan mie instan. Itu pun jangan harap bisa makan suguhan mie instan "lengkap". Soalnya, keuangan Karso tak mampu menyediakan telur sebagai "bumbu penyedap". Kol pun tak ada. Maka, mie-nya Pak Karso direbus dengan daun ubi.
***
"DULU, sebelum jalan ini menjadi dua jalur, warung ini selalu ramai pembeli. Terutama anak-anak sekolah dari seberang jalan," kenang Ny Hadidjah, sambil menunjuk jalan di depan rumahnya yang hiruk-pikuk deru mesin kendaraan.
Tapi nyatanya selama beberapa tahun belakangan ini kedai kopi itu sudah jarang disinggahi orang. Meski begitu, pasangan renta ini enggan menutupnya. Karena sepi, mereka tak berani lagi menyediakan aneka macam hidangan seperti dulu. "Setiap hari, saya hanya menyediakan 10 biji pisang goreng dan 10 biji ubi goreng. Kalau bisa habis terjual, saya sudah lega," kata Ny Hadidjah.
Sehari, kedai kopi itu hanya menghasilkan Rp 1.500. Dari uang itulah, Karso-Ny Hadidjah membiayai hidup mereka. Tetapi, pasangan ini memang sudah sejak lama akrab dengan kemiskinan. Sudah sejak mereka menikah di
Karena ekonomi rumah tangga morat-marit, keluarga ini pindah ke
***
KEBERADAAN kedai kopi Karso-Ny Hadidjah tampak terasing di antara bangunan-bangunan modern sepanjang jalan itu. "Terhimpit" di antara gedung-gedung mewah seperti show room, bengkel dan restoran mewah. Hal itu bukannya tak disadari Karso. "Sudah berkali-kali tanah saya ditawar orang. Tapi karena tanah ini merupakan warisan dari pihak istri, saya tak berhak menjualnya," katanya.
Sebenarnya, tanah warisan itu tak seberapa luas. Hanya sekitar 300 meter persegi. Namun sangat strategis, mengingat lokasinya di tepi jalan raya. Pasaran harga tanah di situ sekarang Rp 2,5 juta/m2. "Kalau istri saya mengizinkan tanah ini dijual, harganya harus sesuai dengan nilai pasar sekarang," lanjut Karso.
Kekukuhan pasangan renta ini untuk "bertahan" rupanya lebih dilatarbelakangi oleh pengalaman pahit masa lalu. Saat Jalan Pajajaran dibangun tahun 1985, tanahnya yang tergusur hanya diberi kompensasi Rp 250/m2. Bahkan beberapa meter persegi tanahnya tidak mendapat ganti rugi.
Kini, sepuluh tahun kemudian, pengorbanan Karso-Ny Hadidjah telah menampakkan "buah"-nya. Jalan itu menjadi jalur pokok yang menghubung
Pasangan renta itu sadar betul, suatu hari nanti kekukuhan itu bisa mencair. "Semua kawasan sekeliling rumah ini sudah berganti kepemilikannya. Umumnya, mereka tergiur oleh harga tanah yang selangit. Tapi saya tidak. Soalnya di atas tanah (baca: kedai kopi) ini hidup saya tergantung. Hanya saja, saya juga tak tahu sampai kapan saya bisa bertahan seperti ini kalau hasil jualan setiap hari tak lebih dari Rp 2.000," jelas Ny Hadidjah.
Tetapi, bukan itu saja. Akankah Pemda Bogor membiarkan rumah gubuk itu tetap berdiri, sementara yang menjadi tuntutan -atas nama peremajaan
Menanggapi kemungkinan itu, mereka berkomentar, "Kalau itu terjadi, maka itu bukan pembangunan tetapi kemunduran." Karso mengaku tak pernah mendapat pendidikan formal, namun dia kaya pengalaman hidup. (Mathias Hariyadi/Nasru Alam)
Foto: Kompas/zz
Pasangan suami-istri, Karso Warsito dan Ny Hadijah, mampu bertahan
hidup dengan hanya berjualan makanan kecil di kedai kopinya.
No comments:
Post a Comment