KOREOGRAFER Gusmiati Suid (57) merasa mendapat kehormatan bisa tampil di Art Summit Indonesia II 1998. Meski karya-karyanya sudah mendapat tempat oleh khalayak di berbagai belahan dunia, sejajar dengan tokoh-tokoh koreografi internasional, tetapi di dalam negeri ia justru merasa belum dihargai. Istilah Gusmiati, "Selama ini kita tidak ditengok."
Bahwa ia bersama anak-anak sanggar tari "Gumarang Sakti"-nya kerap tampil di berbagai forum internasional, semua itu lebih mengandalkan undangan pihak luar. Itu telah berlangsung selama bertahun-tahun. Sejak ke-"tokoh"-annya diakui setelah muncul di An Asian Festival of
Theatre: Dance and Martial Arts di India (1987), lalu disusul forum-forum lain sampai ia mendapatkan Bessis Award dari New York Dance and Performance (1991), namun hingga sejauh itu Gusmiati merasa belum mendapat tempat di Indonesia.
Baru di Art Summit '98 ia ditoleh. Ini yang membuat Gusmiati benar-benar merasa dihargai di negerinya sendiri. Tidak cuma itu. Panitia bahkan menjadwalkan penampilan karya terbarunya -masih dalam warna tradisi Bakaba, Minang- sebagai pertunjukan pembuka, mengawali rangkaian kegiatan Art Summit yang akan berlangsung selama sebulan penuh, 19 September-19 Oktober 1998.
***
MASIH seperti karya-karyanya terdahulu, komposisi yang digarap Gusmiati Suid untuk pentas pembuka Art Summit '98 nanti tetap sangat kental dengan warna tradisi Minangkabau, tanah kelahirannya. Meski begitu, elemen yang diambil dari tradisi Bakaba itu ia sikapi dengan cara pandang baru, sehingga muatan karya-karyanya terasa aktual. "Sifat tradisi tutur seperti Bakaba sebetulnya tidak pernah tertinggal. Bahkan tak jarang ajaran-ajaran filosofis yang ada di dalamnya telah lebih dahulu berada di depan," kata Gusmiati Suid ketika ditemui di sela-sela kegiatannya mematangkan penampilan anak-anak asuhannya di sanggar Gumarang Sakti di kawasan Depok, Selasa (15/9) sore.
Berangkat dari pemahaman ini, Gusmiati tidak merasa kesulitan ketika akan mengangkat tema-tema aktual dalam karya-karyanya yang terkesan masih berbau tradisi. Pada komposisi Api dalam Sekam yang akan ditampilkan nanti, tema karya tari Gusmiati justru berangkat dari suasana saat ini, dengan sinopsis singkat: "Sebuah kaba(r) pada tradisi dari dendang reformasi!"
Komposisi ini sebetulnya sudah terpikirkan oleh Gusmiati sejak ia menggarap Kabar Burung. Bahkan menurutnya, Api dalam Sekam adalah kelanjutannya, namun ditampilkan dengan muatan yang disesuaikan dengan konteks perjalanan waktu. Lewat Api dalam Sekam, Gusmiati Suid ingin menangkap kilasan-kilasan peristiwa besar yang ia lihat. Lewat cara ini pula Gusmiati ingin menunjukkan akar dari rentetan krisis yang kini melanda bangsa ini.
"Api dalam sekam adalah suatu ungkapan, suatu peribahasa, yang menunjukkan sesuatu sedang terjadi. Api dalam sekam memiliki potensi sebagai ancaman menghanguskan, meski dilihat dari luar seperti tidak terjadi apa-apa. Api dalam sekam ibarat bisul yang menunggu meledak, seperti halnya
***
DI sanggar Gumarang Sakti yang tenang di kawasan Depok, sejak satu setengah bulan lalu Gusmiati mulai menggarap Api dalam sekam secara intens. Kerangka komposisi yang sudah terbentuk sejak Kabar Burung rampung digelar semakin diperkaya oleh munculnya peristiwa-peristiwa yang terus bergulir di Tanah Air.
Didukung 16 pemain (lima di antaranya adalah pemusik-tetapi pada bagian-bagian tertentu juga terlibat dalam gerak tari), Bu Yet (begitu ia biasa dipanggil-Red) terus mematangkan komposisi ini. Bahkan sejak dua minggu lalu, Boi G Sakti-anak kandungnya yang juga dikenal sebagai koreografer muda berbakat-ikut membantu. Hambatan tentu ada. Dari aspek ide misalnya, Gusmiati sempat mengaku panik lantaran merasa 'kehilangan rasa' untuk menemukan gerak yang cocok.
Boi G Sakti saat masih sibuk menata persiapan pembukaan Asian Games di Bangkok. Dalam situasi panik, Boi diminta pulang untuk membantuk memecahkan masalah yang dihadapi. "Dalam mencari suatu gerak yang cocok, kadang-kadang kita pakai rasa. Tapi ternyata ada yang tidak ketemu, padahal semua gerak yang diinginkan itu telah tersedia. Seperti juga wartawan atau penulis, meski kata-kata sudah ada sejak lama, tapi 'kan tidak selalu kata-kata yang diinginkan ketemu dengan gampang," ujarnya.
(ryi/efix/ken)
No comments:
Post a Comment