Sunday, 8 June 2008

Jerat Asmara di Menara Kembar KL

"Entrapment": Maaf, Keahlianku Mencuri ...

MAUNYA membekuk pencuri, tetapi ujung-ujungnya teringkus rasa cinta dengan calon korbannya. Itulah Entrapment, film yang mengisahkan upaya keras Virginia "Gin" Baker (Catherine Zeta-Jones yang pernah main dalam The Mask of Zorro), seorang penyelidikperusahaan asuransi di New York, yang ingin membekuk Robert "Mac" MacDougal (Sean Connery). Yang disebut terakhir itu tersangka utama atas kasus hilangnya lukisan Rembrandt dari sebuah gedung bertingkat di kawasan Manhattan, New York.

Gin dan terlebih bosnya Hector Cruz (Will Patton), sangat berkepentingan menangkap Mac, karena mereka ingin menyelamatkan aset perusahaannya dari tuntutan klaim sebesar 24 juta dollar AS akibat hilangnya lukisan mahal itu. Cruz sengaja mengumpankan anak buahnya yang cantik, Gin, sebagai perangkap guna meringkus Mac.


Hanya saja, Mac si maling cepat tanggap. Dia jerat calon penjeratnya dengan "jerat asmara". Singkat kata, Mac dan Gin malah menjadi sekutu yang lalu merancang aksi pencurian lain-sebuah patung antik bernilai jutaan dollar AS.

Tidak seperti film thriller lain yang mengumbar "dar-der-dor" atau aksi baku hantam penuh darah, sebaliknya Entrapment sangat hemat dalam hal ini. Yang digarap terutama adalah konflik-konflik batin, dari dua sosok yang semula saling "memburu", perlahan berubah menjadi sepasang pencuri ulung yang bahu-membahu.


Sean Connery tampil sebagai sosok pribadi yang cenderung introvert dengan ekspresi muka sangat dingin. Sementara Catherine Zeta-Jones yang tergolong pendatang baru, tampil mengesankan dengan sensualitasnya.


Film yang membikin Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad berang karena gemerlap Kota Kuala Lumpur dimanipulasi dengan pemandangan kawasan kumuh di antara gedung-gedung tinggi ini, memang penuh manipulasi optik. Di luar kepentingan Mahathir, betapa pun manipulasi-manipulasi optik itu dalam banyak hal justru menyenangkan belaka. Zeta-Jones bisa merambat tembok seperti laba-laba. Ia kemudian menjatuhkan diri dengan gerakan elok seperti kucing. Pada kesempatan yang lain lagi, ia menekuk-nekuk torso-nya untuk menghindari tali-temali-tanda sinar laser.


Mereka menjadi pasangan maling yang piawai. Mereka berusaha membobol brankas di Kantor Pusat Petronas (semacam Pertamina di sini) di jantung Kota Kuala Lumpur, Malaysia. Nah, pemandangan Kota Kuala Lumpur ini yang membikin Pemerintah Malaysia marah.


Dalam pembobolan itu, mereka memanfaatkan momentum lumpuhnya teknologi komputer saat terkena millenium bug persis di awal datangnya milenium ketiga, tahun 2000.


Aktual, penuh tipu daya, menyenangkan, itulah Entrapment. Di situ kita disuguhi maling yang sudah berkategori "maestro" dengan gerak serba kilat. Rumusnya; terlambat satu menit dan tak muncul-muncul, itu artinya saya sudah mati. (Mathias Hariyadi)

SEAN CONNERY - Salah satu adegan dalam film Entrapment yang dibintangi oleh aktor Sean Connery.

Data Klipping Mathias Hariyadi 222.124.79.135 Entrapment Maaf, Keahlianku Mencuri ... KOMPAS - Sabtu, 28 Aug 1999 Halaman: 21 Penulis: RYI Ukuran: 3093

Wednesday, 4 June 2008

Jikumerasa

Jikumerasa, Pantai Andalan Pulau Buru


JIKUMERASA. Begitu nama pantai terpopuler di Pulau Buru. Meski belum ditetapkan sebagai daerah tujuan wisata (tourist site), namun pantai itu ramai dikunjungi masyarakat, terutama setiap hari libur. Memiliki hamparan pasir putih sepanjang empat kilometer, Jikumerasa yang berlokasi tak jauh dari kawasan pemukiman, memikat perhatian. Ditambah kondisi pasir putihnya yang lembut, Jikumerasa layak menjadi objek wisata pantai. Bila siang hari, hamparan pasir putih mirip permadani putih raksasa.

Tapi Jikumerasa bukan hanya pasir putih. Ia juga indah berkat deburan ombak-ombak kecil. Berenang di antara gemericiknya ombak tentu menimbulkan keasyikan dan kenikmatan tersendiri. Semua berkesan alami. "Pantai ini tak kalah dibanding Pantai Kuta di Bali," ujar warga setempat.

Tak heran jika Jikumerasa di Kecamatan Buru Utara Timur (BUT), Pulau Buru, kini menjadi tempat rekreasi warga setempat. Ratusan warga Namlea, BUT, dan warga Airbuaya, Kecamatan Buru Utara Barat, biasa pergi ke Jikumerasa untuk rekreasi. Air laut yang bening memungkinkan pengunjung menyaksikan indahnya rumput laut di dasar pantai. Alam pantai yang langsung ke lautan lepas memberi gambaran nyata, panorama pantai Pulau Buru memang indah.

Tak berlebihan mengatakan, Jikumerasa bisa menjadi wisata pantai andalan Pulau Buru. Peluang menjangkau pantai yang menyimpan pesona alam itu tak sulit. Transportasi darat dari arah Namlea, "Ibu Kota" Kecamatan BUT ke Jikumerasa lancar. Angkutan umum tersedia sejak pagi hingga sore. Ongkosnya Rp 1.000 per orang sekali jalan. Kondisi jalan mulus dan serba lurus sepanjang 25 kilometer jelas akan memberikan kenyamanan perjalanan hingga sampai tujuan.

Sejak dari Namlea, bukit-bukit kecil di kanan-kiri jalan menambah indahnya panorama alam geografis Pulau Buru. Sementara di km 2 selepas Namlea, pemandangan khas hutan yakni alam savana yang ditumbuhi pohon kayu putih menghiasi pemandangan di kanan-kiri jalan. Pemandangan sama masih bisa dilihat hingga sampai di km 10. Sesekali aroma khas bau minyak kayu putih terasa menyentuh hingga ke ujung hidung, terbawa hembusan angin laut. Tak ketinggalan suasana teduh bisa dirasakan, ketika melintasi kawasan pengembangan tanaman kelapa milik warga setempat. Semilir hembusan angin dari Laut Seram menjadikan hawa lebih sejuk.

Permukiman nelayan tradisional ada di sisi kanan-kiri jalan. Di sepanjang kawasan permukiman itulah, para pelancong bisa menyaksikan warga menggelar aneka jenis ikan laut hasil tangkapan malam sebelumnya. Dibanding di Pasar Namlea, harga ikan di pasar "tepi jalan" itu jauh lebih murah. Selain itu, kondisi ikan juga jauh lebih segar karena baru saja diambil dari laut.

Pesona lainnya, sekelompok anak-anak desa yang suka bermain gasing di halaman rumah. Sementara, hewan piaraan penduduk seperti sapi, kambing dan kerbau dibiarkan begitu saja merumput di tepi jalan. "Hati-hati mengendarai mobil di sepanjang jalan di Pulau Buru, karena bisa jadi hewan-hewan itu secara tiba-tiba menyeberang jalan tanpa mau menoleh ke kanan atau ke kiri terlebih dahulu," kata Frans, warga setempat.

"SELAIN hamparan pasir putihnya luas, orang bisa mandi di laut tanpa harus merasa takut digulung ombak. Yang jelas, tiap kali habis dolan ke sini, pengunjung mengaku merasa puas," kata Laras (27), warga Desa Waetele, sekitar 45 km dari Jikumerasa, yang mengaku suka menghabiskan waktu luangnya dengan mandi di pantai Jikumerasa. Sementara Awad Bahasoan (40), warga setempat, berpendapat, "Tak pernah ada sajian khusus digelar penduduk setempat. Mereka hanya mandi di air laut dan bermain pasir putih di bawah rimbunnya kelapa milik warga." Mungkin, tambahnya, para pengunjung juga merasa senang menyaksikan indahnya ikan-ikan laut berenang di antara sela-sela batu karang atau rumput laut yang tumbuh.

"Di sini orang juga bisa melihat perbedaan kedalaman laut. Yang transparan dan airnya bening, itu daerah dangkal. Yang hijau berarti cukup dalam, dan yang biru itu lebih dalam lagi," jelasnya. Sebagai warga asli kelahiran Jikumerasa, Awad Bahasoan tidak tahu darimana asal-usul nama Jikumerasa. Namun, menilik apa yang kelihatan dan ada di sana, katanya, di kawasan Pantai Jikumerasa ada empat buah jiku (berarti sudut -Red).

Jiku pertama ada di antara ratusan pepohonan kelapa yang rimbun dan tumbuh secara alami. Jiku kedua, tak jauh dari situ dengan suguhan hamparan pasir putih sangat luas. Jiku ketiga ada di lokasi permukiman penduduk di mana terdapat sebuah delta yang merupakan titik temu aliran arus air tawar dari gunung dengan arus air asin dari laut. Sedangkan jiku keempat ada di ujung kampung. "Setiap jiku punya karakter berbeda. Sejauh ini belum ditemukan adanya khasiat istimewa, selain sebagai tujuan wisata," jelas Awad Bahasoan.

CAMAT But Drs Muhammad Tatuhey berpendapat, untuk menyedot pengunjung lebih banyak ke Jikumerasa, Pemda Dati II Maluku Tengah perlu bertindak. "Kami menunggu kebijakan itu agar kita mampu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang pada gilirannya akan menggenjot derap pembangunan Pulau Buru," katanya.

Diakui, kendala terbesar di Jikumerasa adalah belum tersedianya sarana pendukung dan sarana rekreasi lainnya. "Memang susah. Karena di sana tak ada pedagang, maka para pengunjung bisa repot bila haus atau kelaparan," katanya. (Mathias Hariyadi)

PASIR PUTIH - Hamparan butir-butir pasir putih sepanjang hampir empat kilometer di Pantai Jikumerasa, Pulau Buru, Maluku Tengah, menjadi pesona tersendiri bagi masyarakat Kacamatan Buru Utara Timur. Kawasan pantai di tepi Laut Seram itu yang sehari-hari sepi itu dalam sekejab bisa menjadi ramai terutama pada hari-hari libur.

Photo credit: Kompas/Mathias Hariyadi

Tuesday, 3 June 2008

Zo Odori Okinawa (浜千鳥)


Hamachidori, Tarian Rindu Okinawa



SEORANG penari tunggal, berkimono warna biru dan bertelanjang kaki, berdiri tenang di pusat panggung. Diiringi musik tradisional sederhana secara playback dari kaset, menarilah Izumi Higa (32), penari asal Ryukyu, Okinawa (Jepang) menghibur penonton di Auditorim Pusat Kebudayaan Jepang di Summitmas Tower Jl Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan.


Jumat (6/8) petang lalu adalah hari pertama Izumi menunjukkan kebolehannya membawakan tarian tradisional Okinawa kepada publik Jakarta. Ikut dalam misi kesenian ini adalah Nana Miyagi (30), ahli tekstil Okinawa. Pameran tekstil dan keterangan detailnya oleh Nana tampil mendahului tarian Izumi. Di akhir acara, Izumi yang ramah bersedia menyediakan diri mengajari sejumlah penonton menarikan tarian rakyat khas Okinawa ini.


LAUTAN luas yang mengepung Kepulauan Okinawa (sekitar dua jam terbang dari Tokyo) rupanya cukup memberi pengaruh terhadap budaya Okinawa, termasuk tariannya. Okinawa yang mempersepsikan laut sebagai istana dewa-dewi akhirnya melahirkan tarian sebagai ekspresi semangat religius mereka terhadap dewa-dewi. Sementara, doa terungkap lewat nyanyian.


Perspektif kosmologi itu juga mencuat kuat dalam pilihan kostum Izami. Sebuah kimono dari kain bergaya kasuri yang berpola percikan terbuat dari benang tenunan celup melekat erat pada tubuh Izumi yang lentur. Inilah jenis kain yang bisa membuat bayangan birunya (laut) di atas hitam akibat celupan alami terbuat dari tumbuhan semacam nila di Ryukyu.


Berbeda dari tarian klasik atau istana, tarian yang dibawakan Izumi konon lebih melambangkan aliran zo odori-sebuah aliran tarian khas Ryukyu-yang berakar pada keseharian masyarakat Okinawa. Tarian Hamachidori (burung camar terbang) bernapaskan semangat zo odori, dibawakan Izumi sebagai ekspresi gerak melambangkan gejolak perasaan dan tingkah laku warga Okinawa.


Pada tarian ini terlihat gerak-gerak kecil, dengan gerakan tangan sangat mendominasi tarian. Pada tarian rakyat sepanjang kurang lebih lima menit itu, dua tangan Izumi nyaris tak pernah berhenti bergerak. Sesekali tangannya membentuk konfigurasi gambaran setengah lingkaran dan kali lain membentuk lingkaran penuh. Gerakan tangan membentuk setengah lingkaran melambangkan sikap manusia ketika menyambut kedatangan dewa-dewi.


Hamachidori yang termasuk tarian rakyat ini, kata Izumi, pada intinya ingin mengekspresikan gejolak emosi perempuan muda Okinawa saat dirundung perasaan rindu kepada kekasihnya yang tengah bepergian jauh. Rasa rindu teramat mendalam inilah yang membuat gadis ini lalu
merasa diri telah "bermetamorfose" menjadi seekor burung yang mampu terbang menembus batas-batas awan agar bisa menemui kekasihnya. Gerakan-gerakan tangan itulah simbol kerinduan yang mendalam kepada sang kekasih. (Mathias Hariyadi)


TARIAN LANGKA - Menyaksikan tari Hamachidori yang merupakan tarian rakyat dari wilayah bekas Kerajaan Ryukyu (Okinawa) Jepang adalah sebuah keberuntungan. Selain langka, tarian ini juga jarang dipentaskan di luar Jepang. Izumi Higa (32) membawakan Hamachidori di Auditorium Pusat Kebudayaan Jepang di Jakarta, Jumat (6/8) malam lalu.

Foto: Kompas/Mathias Hariyadi

Monday, 2 June 2008

NAMA DAN PERISTIWA

Mang Udel alias Drs. Purnomo

UKULELE dan Mang Udel (77) ibarat dua sisi sekeping mata uang. Di mana pun Mang Udel berada, di situ pula aktor film kawakan yang punya nama lengkap dan asli Drs Raden Panji Purnomo Tedjokusumo ini tak pernah lupa membawa serta ukulele, alat musik kesayangannya.
Selanjutnya ya mulai jreng... jreng.. jreng....


Meski tak diminta orang agar dia menyanyi atau memainkan alat petik kesayangannya itu, ia tetap saja menyanyi dan memetik ukulele. Bahkan kalau perlu, menyanyikan lagu-lagu kroncong dengan lirik bahasa Belanda. Begitulah Mang Udel memperlakukan ukulelenya.

Namun pemandangan ini tak segera muncul saat ia didaulat panitia naik ke pentas, dalam acara seni bertajuk Mengenang Ismail Marzuki di Hotel Indonesia Jakarta beberapa hari lalu. Mang Udel tidak segera memainkan ukulelenya seperti dugaan dan harapan banyak orang.

Aktor layar lebar yang pernah sukses bermain dalam sinetron Losmen itu, ternyata memilih tarik suara tanpa iringan ukulelenya. Maka melantunlah sebuah tembang berjudul Halo Ibu, yang menurut dia betul-betul asli karya mendiang Bang Ma'ing -begitu Ismail Marzuki sering dipanggil akrab- namun banyak dilupakan orang. Mang Udel menyanyikan lagu itu penuh perasaan, lengkap dengan gaya seorang anak bila yang tengah menelepon ibunya saat hatinya dilanda kerinduanm mendalam akan kampung halamannya.

"Setiap kali melantunkan lagu itu, ingatan saya terbang nun jauh ke belakang ketika Bang Ma'ing masih hidup. Saya sengaja menyanyikan Halo Ibu, karena banyak orang tahunya lagu itu karya orang lain. Padahal saya tahu jelas, Halo Ibu adalah ciptaan Bang Ma'ing," ujar Mang Udel di balik layar. (Mathias Hariyadi)

Foto: Kompas/Mathias Hariyadi

Sunday, 1 June 2008

Kapak Haus Darah Mel Gibson


Old World versus New World

PERANG tak hanya melahirkan keberingasan, kebrutalan, dentuman mesiu, darah segar yang memuncrat, dan perasaan tercekam di hati manusia. Lebih dari itu, konflik politik antarbangsa yang berujung pada adu senjata untuk saling mematikan juga bisa memunculkan dendam kesumat.

Jiwa manusia yang terkurung nafsu amarah dan perasaan dendam kesumat inilah yang akhirnya membawa Benjamin Martin (Mel Gibson), seorang veteran Perang Perancis dan Indian, pada satu tekad kuat: ingin menuntut balas atas kematian putranya, Thomas. Bak seekor harimau lapar yang terjaga dari tidur panjangnya, darah beringas Benjamin kembali bergolak setelah di depan matanya sendiri Thomas mati secara mengenaskan oleh tembakan Kolonel William Tavington (Jason Isaacs), seorang perwira anggota pasukan "Jubah Merah" Kerajaan Inggris.

Thomas mati setelah ia nekat menjadikan dirinya sebagai "tameng hidup" kakaksulungnya, Gabriel Martin (Heath Ledger) yang akan digantung di luar kota sebagai seorang pecundang. Maklum, anak sulung Benjamin yang pemberani ini adalah anggota laskar pejuang Amerika yang waktu itu tengah gigih berjuang menentang kolonialisme Inggris di Amerika, sebuah dunia baru alias The New World untuk membandingkannya dengan Inggris sebagai The Old World.


Aksi penyergapan terhadap sebuah konvoi pasukan Inggris oleh Benjamin bersama dua anaknya yang masih bocah berhasil membebaskan Gabriel sekaligus membuat pasukan "Baju Merah" kocar-kacir. Kejadian ini akhirnya melahirkan semacam mitos ketakutan di kalangan pasukan Inggris: Gabriel berhasil diselamatkan oleh seorang milisi Amerika yang teramat pintar, tangguh, sekaligus terampil menggunakan senjata kapak "Cherokee" Indian. Hantu "Cherokee" Indian inilah yang kemudian menjadi sebuah teka-teki besar bagi seluruh anggota pasukan Inggris pimpinan Jenderal Lord Cornwallis (Tom Wilkinson).


WILAYAH Carolina Selatan tahun 1776. Inilah era ketika tengah berkecamuk aksi pergolakan kaum patriotik Amerika melawan hegemoni kekuasaan pemerintah Inggris di bawah pimpinan Jenderal Lorn Cornwallis. Meski namanya harum di kalangan para pejuang Amerika sebagai veteran Perang Perancis dan Indian, namun sejak awal Benjamin sudah tegas menyatakan diri enggan terlibat lagi dalam konflik senjata melawan Inggris.


"Kalau Anda semua menanyakan apakah saya ingin berperang melawan Inggris, jawaban saya jelas: Tidak! Saya telah terlibat dalam banyak perang dan kini saya punya keinginan untuk mengulangi hal sama. Kini, saya lebih merasa diri seorang bapak dengan tujuh orang anak. Istrisaya telah lama meninggal, lalu bersama siapa anak-anak saya akan tinggal kalau saya berangkat ke medan laga," ujar Benjamin Martin di hadapan segenap anggota Majelis Charleston yang tengahmempertimbangkan kemungkinan angkat senjata melawan Inggris yang tengah bercokol di bumi Carolina Selatan.


Namun, kematian Thomas oleh keberingasan Kolonel Tavingtonmenyeret Benjamin Martin ke sebuah permusuhan pribadi dengan perwira anggota pasukan Inggris ini. Api kemarahannya semakin besar lagi, setelah belakangan ia juga mendapati putra sulungnya, Gabriel Martin, ikut tewas akibat sabetan pedang sang kolonel berperilaku bengis ini. Ujung-ujungnya, sebuah aksi balas dendam pun mulai dirancang rapi oleh Benjamin.

Itulah sebabnya mengapa dalam film sepanjang nyaris 2,5 jam yang sarat adegan adu moncong senjata dan banyonet, duel tembakan artileri, dan mayat bergelimpangan di mana-mana dengan luka menganga ini dengan mudah bisa ditebak inti masalahnya: aksi dendam Benjamin membalas kematian dua anaknya.


Di tengah fokus cerita inti inilah kemudian masuk sebuah tema besar yakni perang patriotisme kaum masyarakat "Dunia Baru" melawan hegemoni pasukan Inggris yang berasal dari wilayah "Dunia Lama".


Namanya saja sebuah film perang, jadi jangan heran pula kalau di banyak adegan ini banjir darah segar terasa mengalir deras. Sebuah konsep film perang yang nyaris mengingatkan kita pada gambaran jelas tentang kebrutalan manusia di tengah suasana perang seperti pernahditunjukkan film Saving Private Ryan garapan Steven Spielberg atau film Full Metal Jacket karya mendiang sutradara Stanley Kubrick.


Ini tak mengherankan, karena film produksi Mutual Film Company Centropolis entertainment dibuat berdasarkan skenario Robert Rodat yang di tahun 1998 dijagokan sebagai calon penulis skenario terbaik untuk anugerah Piala Oscar Tahun 1998 atas karyanya di filmSaving Private Ryan. Kali ini, sutradara Roland Emmerich-lah yang mengerjakan film The Patriot yang selain menampilkan bintang asal Austalia, Mel Gibson, juga menghadirkan Chris Cooper sebagai Kolonel Burwell, Lisa Brenner (Anne Howard) dan ribuan figuran lainnya.


Menyaksikan kelihaian Benjamin memainkan senjata kapak Indian "Cherokee"-nya, jadilah The Patriot ini sebuah film laga berlatar belakang perang di South Carolina ketika kaum patriotik Dunia Baru menentang hegemoni kekuasaan pasukan Dunia Lama yang tiran dan bengis. (Mathias Hariyadi)


SANG PEJUANG - Veteran perang dengan semangat juang tak pernah pupus, Benjamin Martin (Mel Gibson), di tengah berkecamuknya perang kaum nasionalis Amerika melawan hegemoni kekuasaan Kerajaan Inggris seperti tampak dalalm film terbarunya, The Patriot, produksi Columbia/TriStar.


Written by Mathias Hariyadi
Published by Kompas, Sunday 20 July 2000

Database Kliping MATHIAS HARIYADI
"The Patriot", Kapak Haus Darah Mel Gibson
KOMPAS - Minggu, 30 Jul 2000
Halaman: 19 Penulis: ryi Ukuran: 5520 Foto: 1

"THE PATRIOT", KAPAK HAUS DARAH MEL GIBSON

Saturday, 31 May 2008

Dari Cannes Bicara Pembajakan


PR Besar Swasta dan Pemerintah

Aksi para bandit melakukan pembajakan atas hasil-hasil industri musik kini kian merajalela. Para pengusaha hiburan musik, khususnya para artis penyanyi dan musisi kewalahan dalam upaya memerangi aksi pembajakan yang sangat merugikan ini.


Berbagai keluhan sekaligus harapan besar agar masalah ini bisa dipecahkan, mengemuka pada konferensi sehari di arena MIDEM (Marché international de disques et l'Edition Musicale/ Pasar Bursa Musik Internasional dan Semua Industri Musik) 2000 de Cannes yang berlangsung Minggu (23/1) di Palais des Festival, Cannes, Perancis Selatan.

Dalam pidato pembukaan yang disampaikan oleh Presiden Asosiasi Industri Rekaman Perancis, Jean-Loup Tournier, sempat disinggung kenyataan bahwa sekarang praktik pembajakan atas hak-hak cipta sudah menjadi sebuah fenomena global. Kini, ujarnya, sudah saatnya pemerintah ikut ambil bagian dalam seluruh upaya yang selalu dilakukan pihak swasta guna memerangi kejahatan yang amat merugikan para pengusaha dan artis di belantika musik. "Dalam beberapa kasus, kami mendapati pihak kepolisian seperti tak berdaya menghadapimasalah ini," katanya pada pembukaan konferensi itu seperti dilaporkan wartawan Kompas Mathias Hariyadi, dari Cannes.


Menyikapi masalah ini, tambahnya, sudah saatnya para pengusaha musik bekerja sama lebih intensif lagi. Tahap berikutnya, kerja sama bisa diperluas dengan para pengusaha lain yang bergerak dalam industri fashion yang juga sering menjadi korban aksi pembajakan. Senada dengan itu, Iain Grant yang bertindak sebagai moderator sidang juga menyampaikan harapan agar kerja sama antara swasta-pemerintah lebih digalakkan lagi, terutama mengingat perkembangan terakhir ini di mana aksi pembajakan sudah menjadi semacam "gurita" kejahatan internasional.


Pameran industri musik

Di luar arena konferensi internasional tentang perlindungan atashak-hak cipta, di sejumlah ruangan di Palais des Festival juga berlangsung pameran semua hasil industri musik, mulai dari peralatan rekaman, hasil rekaman, dan semua hal tentang industri musik. Indonesia yang membuka satu stan di salah satu sudut di lantai satu gedung Palais des Festival menjadi salah satu peserta, bersama sedikitnya 147 perusahaan rekaman dari 22 negara di seluruh dunia.


Selain dimaksudkan sebagai ajang memamerkan semua hasil industri rekaman, pameran ini juga menjadi semacam forum informal bagi para pengusaha hiburan musik untuk bertemu muka, melakukan penjajakan dan melihat berbagai kemungkinan untuk bekerja sama memproduksi kaset atau CD. Di hari pertama pameran mulai tampak satu-dua pengusaha industri rekaman musik dari negara lain mengunjungi stan Indonesia, dan melakukan pembicaraan intensif untuk menjajaki kemungkinan kerja sama itu.


Seperti dialami musisi Dwiki Dharmawan, yang mendapat tawaran kerja sama dari perusahaan Tout Crin (Kanada) untuk rekaman dan tur, Eugen Muller AG (Swiss) untuk kerja sama membuat opera cross over, perusahaan multimedia Audioatlas.com (AS) untuk kerja sama promosi Krakatau 2000 di jaringan internet dan menjual produksi Krakatau 2000 lewat e-commerce, TV5 Perancis yang minta video klip Krakatau 2000 untuk tayangan acara World Music di jaringan televisi itu, serta sejumlah perusahaan rekaman dari Australia, Korsel, AS, Thailand, dan Radio France International untuk wawancara khusus.


Sehari sebelumnya, di arena yang sama dilangsungkan NRJ Music Awards, sebuah acara khusus untuk para undangan VIP di mana sejumlah artis musik dari berbagai belahan dunia diundang datang guna menerima penghargaan. Penyanyi kulit hitam dari AS, Tina Turner, menerimapenghargaan khusus bersama Bono dari grup musik U2. Penghargaan istimewa kategori penyanyi perempuan jatuh ke tangan Mariah Carey (AS) dan Mylene Farmer (Perancis), sementara piala kategori penyanyi pria diserahkan kepada aktor Will Smith (AS) dan David Halliday (Perancis).

Para pendatang baru di dunia musik pun mendapat keberuntungan, yakni Tina Arena (Internasional) dan Helene Segara (Perancis). Lewat albumnya My Love is Your Love Whitney Houston mendapat penghargaan, dan Helene Segara pun sama lewat Innamorento. Sementara grup/duonya adalah kelompok Texas (Internasional) dan Zebda (Perancis). Piala untuk konser terbaik jatuh ke tangan Mylene Farmer (Perancis). Judul lagu terbaik tahun ini adalah Mambo No 5 (Internasional) dan Tomber la Chemise (Perancis). (RYI)

Photo Credit: Kompas/Mathias Hariyadi
Solene Chavanne de Cannes

Written live from Côte d'Azur, Cannes, Nice by Mathias Hariyadi
Published by Kompas, Tuesday 20 January 2000
Database Kliping MATHIAS HARIYADI
203.130.222.210 Dari MIDEM 2000 de Cannes:
Perlu Kerja Sama Swasta-Pemerintah untuk Perangi Pembajakan
KOMPAS - Halaman: 9
Penulis: RYI
Ukuran: 4668
Dari MIDEM 2000 de Cannes

Friday, 30 May 2008

Mozaik Pulau Buru

Ir Mangantar HE Membangun Irigasi Pulau Buru

GAGAL meraih cita-cita luhur yang tertanam sejak kecil tak selalu berakhir dengan kegagalan meniti karier hidup. Sebaliknya, hal itu bisa jadi malah menjadi awal sejarah hidup yang sukses. Kenyataan itulah yang dialami Ir Mangantar S, Dipl. HE (49).

Ia gagal masuk Akabri tahun 1968 silam. "Saya tak lulus ujian psikotes. Barangkali memang sudah garis tangan saya tidak menjadi tentara, tapi pegawai negeri," kata pria kelahiran Desa Simatupa, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara ini, di base camp Proyek Pengairan Irigasi Pulau Buru di desa Waenetat, Mako, Kecamatan Buru Utara Timur.

Kegagalan itu sempat membuat Mangantar frustrasi. Untuk mengobati kekecewaannya, setahun kemudian ia masuk Fakultas Teknik Sipil di Universitas Sumatera Utara. Ia lulus sarjana muda teknik sipil tahun 1975 dan langsung mengawali kariernya sebagai pegawai negeri di Dinas Pekerjaan Umum Medan.

Di tengah kesibukan bekerja, ia masih nyambi kuliah. Hasilnya, tahun 1980 ia diwisuda menjadi insinyur sipil. Sebagai pegawai negeri, tahun 1985 ia mendapat kesempatan belajar setahun di International Hydraulic Engineering Deflt, Belanda. Sepulang dari Belanda itulah, satu gelar yakni Diploma Hydraulic Engineering (Dipl. HE) ikut menghiasi namanya.

Kini, 17 tahun sesudah berhasil menggondol gelar insinyur teknik sipil, Mangantar mengaku baru bisa memetik hasil dari kisah "suram" masa lalunya. Ia memandangnya dari sisi positif, "Apa lagi kalau bukan dari kegagalan saya jadi tentara?," ujarnya gagah.

Ada alasan kuat melatari pernyataan itu. Pertama, demikian pengakuannya, Mangantar merasa sukses membina hidup rumah tangga dengan wanita pujaannya: Ny Dewi Kania (38) asal Purwokerto, Jateng. Mereka dikaruniai anak bernama Kasih Juwita Simatupang (3) setelah 13 tahun menikah. Kedua, anak ketiga pasangan Casianus Simatupang-Ny Armina boru Pangaribuan-keduanya sudah almarhum-kini menjadi "orangpenting" di Pulau Buru.

Sebagai Pemimpin Proyek Irigasi ia bertugas membangun jaringan saluran-saluran irigasi agar Pulau Buru bisa diairi. "Saya sendiri sempat merasa ngeri, begitu mendapat penugasan di Pulau Buru. Mendengar pulau itu saja sudah memunculkan perasaan tak enak. Apalagi harus bekerja di sana selama beberapa tahun dan itu belum jelas sampai kapan akan berakhir. Tapi, itu dulu. Sekarang senang dan bahagia," katanya.

Kedatangan Mangantar ke Pulau Buru sama sekali tidak ada kaitannya dengan urusan tahanan politik. Ia bertugas mengomandani sebuah proyek strategik yakni Proyek Pembangunan Jaringan Saluran Irigasi Teknis Pulau Buru. Konkretnya, karyawan Ditjen Pengairan Departemen PU bertanggung jawab mengembangkan lahan seluas 17.364 hektar agar bisa "disulap" menjadi daerah pertanian khususnya sawah yang berpengairan.


PERTAMA kali datang di Pulau Buru bersama pasukannya tahun 1991, kondisi pulau seluas 9.500 km2 itu masih terbelakang. Listrik belum menyala, dan jalan-jalan yang menghubungkan pusat kota Namlea dengan daerah-daerah pendukungnya belum memadai. "Untuk bisa mencapai kantor di pedalaman Desa Wainetat dari Namlea, kami tidak bisa naik mobil seperti sekarang ini. Kami harus naik perahu motor lewat sungai Wai Apu dan itu pun harus disambung jalan kaki sejauh kurang lebih lima kilometer," kata Mangantar.

Pada tahun 1991 itu yang disebut "kantor" masih berupa barak atau kamar-kamar sederhana. Kini, enam tahun kemudian, barak "kantor" itu telah berubah wajah. Yang dulunya hanya berupa rumah-rumah bedeng kini telah menjadi bangunan permanen, lengkap dengan aliran listrik selama 24 jam.

Begitu pula sarana informasi dan rekreasi seperti pesawat TV dengan dua unit antene parabola sudah terpasang. Ada juga sarana olah raga seperti lapangan tenis, bulu tangkis, dan voli. Untuk membunuh kejenuhan, Mangantar kolam-kolam ikan mas di kompleks basecamp seluas 0,5 hektar. "Sekarang jumlah ikan mas itu 10 ribuan ekor," ujarnya bangga.

Untuk sebuah proyek pengairan, areal penggarapan 17 ribu hektar bisa dikatakan tak begitu luas. Tapi menilik lokasinya terpencil di pedalaman dan minimnya fasilitas, keberhasilan menciptakan jaringan irigasi teknis seluas kurang lebih 6.000 hektar patut mendapat acunganjempol. Apalagi itu dikerjakan hanya dalam kurun waktu relatif singkat: enam tahun.

Padahal, tahun 1991 lalu-saat Mangantar menginjakkan kakinya pertama kali di Pulau Buru- luas jaringan irigasi di pulau seluas 1,5 Pulau Bali itu masih sangat sederhana. Itu pun luasnya hanya sekitar 1.800 Ha, hasil pengembangan tahun 1980.

Memang tugas Mangantar belum tuntas. Tantangan berikutnya, tugas mengembangkan jaringan-jaringan irigasi tersier agar lahan potensial seluas 17.364 hektar mampu berproduksi optimal.

Hasilnya? Tahun 1990-an, panen padi sawah dengan pola irigasi sederhana hanya mampu menghasilkan beras sebanyak 2,5 ton/ha per panen selama sekali musim tanam dalam satu tahun. Enam tahun kemudian-ketika jaringan irigasi teknis sudah diterapkan di 11 lokasi pengembangan warga trans-hasilnya berangsur mulai berlipat ganda. Kini mencapai 4,5-6 ton/ha sekali panen. Padahal, setahun bisa terjadi dua kali musim tanam di lahan produktif.

Menurut Mangantar, prestasi itu bukan hanya hasil kerja keras tim Proyek Irigasi semata. Ia menganggapnya juga sebagai hasil karya para petugas instansi lain. Taruhlah itu pengaruh pola pertanian modern yang diperkenalkan oleh para Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dari Departemen Pertanian hingga petugas dari Ditjen Bina Marga yang membangun prasarana jalan.


Melengkapi prestasi itu, berikutnya adalah pembentukan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) Mandiri model Pulau Buru. Program itupun telah disepakati Ditjen Pengairan Pusat sebagai pilot project di Indonesia. Menurut Mangantar, ide membentuk P3A itu muncul karenadesakan situasi. Yakni, beban biaya operasi dan pemeliharaan (O & P) jaringan utama irigasi yang sebenarnya jadi beban rutin pemerintah terkadang tersedia tak sesuai dengan kebutuhan.

Itu berakibat O & P jaringan irigasi tak bisa terlaksana secara optimal. Padahal, tambahnya, para petani itu sudah dibebani tanggung jawab pemeliharaan di tingkat jaringan tersier dan sudah berpartisipasi membayar iuran pelayanan air (IPAIR) irigasi. "Sementara Pemda Dati I yang bertanggung jawab tak bisa memenuhi sepenuhnya biaya yang diperlukan," tandasnya.

Kondisi yang macam itu memancing kreativitasnya. Ujung-ujungnya, Mangantar mengusulkan solusi alternatif mengenai model pembinaan petani. Tujuannya, membina para petani yang tergabung dalam P3A agar mereka bisa membiayai sendiri segala keperluan O & P.

"Para pengurus P3A dari seluruh wilayah daerah irigasi (DI) di lingkungan proyek, termasuk petugas Dinas Pertanian dan pimpinan Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) wilayah P Buru ternyata menyambut baik gagasan itu," katanya.

Hanya saja, sumber biaya tetap jadi masalah. Jalan keluarnya, memanfaatkan peralatan bekas milik proyek, seperti generator kapasitas 5.000 watt, mesin diesel beserta generator berdaya 3.000 watt, untuk dikomersialkan lewat bisnis perbengkelan.

Di ruangan ukuran 8 x 7 meter bekas basecamp proyek Bina Marga di tepi jalan Poros Namlea di Desa Savana Jaya itulah P3A Mandiri menjual jasa charge aki, las listrik, tambal ban, dan lain-lain. Hasil usaha ini akan dipakai untuk menutup biaya O & P jaringan irigasi mulai dari tersier sampai sekunder. Untuk mempertahankan kesinambungan perawatan pola P3A, Mangantar juga akan memberikan 10 buah sepeda kumbang kepada sejumlah pengurus yang loyal.

Meski sudah berbuat banyak untuk Pulau Buru, Mangantar belum puas. Obsesinya menjadikan Pulau Buru sebagai lumbung padi bagi Propinsi Maluku hingga kini belum terwujud secara optimal. (Mathias Hariyadi)

Photo credit: Kompas/Mathias Hariyadi
Written and posted from Pulau Buru, Maluku Tengah
Edi Danu Puspito also joined me in the mission to Pulau Buru.
Later, Ir Mangantar was reported among the dead victims when a ferry boad sank in Lombok Bay in 1999.
Published by Kompas, Tuesday 13 May 1997
Original title was Ir Mangantar dan Irigasi Pulau Buru
Database Kliping MATHIAS HARIYADI
222.124.79.135
Ir Mangantar dan Irigasi Pulau Buru *Box
KOMPAS - Selasa, 13 May 1997
Halaman: 24 Penulis: RYI/EDU Ukuran: 8223
Ir Mangantar S Dipl HE

Thursday, 29 May 2008

Killing Fields, Cambodia's Legacy to the World

Khieu Samphan & Nuon Chea, Dua Arsitek Killing Fields

IBARAT sebuah lukisan, perang dan konflik politik adalah panorama utama bumi Kamboja. Selama 28 tahun terakhir, Negeri Pagoda ini nyaris tak pernah sepi perang saudara. Selama kurun waktu itu, sedikitnya dua juta orang Kamboja telah tewas. Bunyi mesiu dan bau amis darah adalah pemandangan sehari-hari di sana

Namun mulai 4 Desember lalu setidaknya hal itu takkan terjadi lagi. Itulah hari ketika gerilyawan Khmer Merah pimpinan triumvirat supremo Jenderal Ta Mok, Khieu Samphan, dan Nuon Chea mau menghentikan perlawanannya dan mau mengakui eksistensi, legalitas pemerintahan Phnom Penh. Sebuah langkah maju setahap lagi, ungkap Nate Thayer (38) dari Far Eastern Economic Review, setelah Samphan (67) dan Chea (71) 25 Desember lalu memutuskan menyerah tanpa syarat kepada pemerintah Kamboja.


Yang pasti, dua pejabat Khmer Merah ini meniru langkah "sukses" Ieng Sary dua tahun lalu: menyerah dan lalu mendapat pengampunan. Namun ternyata, Tak Mok yang berkaki satu dengan julukan "Si Penjagal" lebih suka memilih tetap tinggal di hutan dan tak mau menyerah.

Selama ini, Khmer Merah dan segala "kejahatannya" nyaris identik dengan Pol Pot. Persepsi ini tak seratus persen salah. Pol Pot alias "Saudara Nomor Satu" (bong ti muoy), yang meninggal 15 April 1998, memang sering disebut sebagai pihak paling bertanggung jawab atas aksi Khmer Merah membantai besar-besaran (genocide) sesama bangsanya sendiri, ketika Negeri Pagoda ini dikuasai rezim Demokratik Kamboja (17 April 1975-25 Desember 1979) yang dipimpinnya.


Korban keganasan Khmer Merah luar biasa: sedikitnya 1,8 juta orang telah tewas sebagai korban Revolusi Maois "Rencana Empat Tahun" yang dilancarkan Pol Pot. Dalam tragedi killing fields, peran dan tugas pasukan "barisan tani" Khmer Merah-suka berkalung selendang motif warna merah-adalah pelaksana program "Tahun Nol", sekaligus eksekutor bagi para pembangkang dan musuh revolusi.

Pol Pot tak sendiri dalam merancang revolusi berdarah gila-gilaan itu. Ikut bermain aktif-namun lebih banyak berdiri di balik layar-adalah Nuon Chea dan tentu saja Khieu Samphan. Pada masa itu, Chea dipercaya Pol Pot menjadi "orang kedua" di jajaran partai.

Karena posisinya begitu sentral sebagai tangan kanan Pol Pot, pria yang suka makan ikan ini lalu lebih dikenal dengan julukan akrab "Saudara Kedua" (prahok) yang diberikan Pol Pot. Belakangan, pria kelahiran Battambang tahun 1927 ini ditunjuk Pol Pot menjadi perdana menteri, setelah sebelumnya pernah menjabat dua kali sebagai Ketua Parlemen Kamboja tahun 1976 dan 1979.

Meski menjabat posisi penting dan strategis di birokrasi pemerintahan Demokratik Kamboja (1975-1979), keseharian hidup Nuon Chea ternyata lebih banyak bersaput "misteri". Selain dikenal luas sebagai pribadi yang cenderung pendiam, mantan mahasiswa Universitas Thammasat Bangkok, Thailand (1941-1948), ini juga lebih suka bermain di balik layar.

Kiprahnya di panggung politik dimulai ketika ia bergabung dengan Gerakan Komunis Indocina tahun 1949, tak lama setelah pulang ke Phnom Penh dari Thailand. Selama di Bangkok itulah, Chea sempat meniti karir menjadi pegawai di Kementerian Luar Negeri Thailand. Baru setelah Kamboja merdeka dari Perancis tahun 1954, Chea meninggalkan Gerakan Komunis Indocina dan mulai membentuk sebuah partai politik sendiri berhaluan kiri. Kurun tahun 1970-1975, ia ikut bertempur di garis depan melawan rezim pemerintahan Kamboja dukungan AS. Selama kurun waktu itu pula, Chea dipercaya Pol Pot menjadi ketua faksi politik sekaligus wakil komandan faksi militer Khmer Merah.


Namun, Chea lebih banyak berperan sebagai "guru" ideologi dengan tugas "mengajar" ideologi partai dan melakukan indoktrinasi. Pendeknya, "ladang" garapannya adalah bidang ideologi. Khieu Samphan lebih memerankan diri sebagai seorang konseptor strategi politik yang "bermain" di jalur diplomasi. Pol Pot mempercayakan tugas ini, karena putra penjual sayur kelahiran Propinsi Svay Rieng tahun 1931 ini sejak kecil dikenal berotak encer. Bersama Saloth Sar (nama asli Pol Pot), tahun 1954 ia dikirim ke Perancis untuk belajar.


Pol Pot gagal meraih gelar kesarjanaan. Tak demikian dengan Samphan, yang pada umur 29 tahun berhasil meraih gelar doktor bidang ekonomi di Universitas Montpellier dengan disertasinya L'Economie du Cambodge et son developpement industriel (Perekonomian Kamboja dan Perkembangan Industrialisasinya, 1959). Setelah pulang kampung, ia mendirikan l'Observateur, sebuah jurnal dwimingguan. Jurnal ini akhirnya dibredel Sihanouk tahun 1960, karena dianggap kritis terhadap pemerintah.


Para analis Kamboja berpendapat, inti pemikiran Samphan dalam disertasi itu sebenarnya merupakan blue print pertama digagas dan dirancangnya konsep pelaksanaan revolusi Maois "Rencana Empat Tahun", yang digulirkan Pol Pot ketika mulai berkuasa di Kamboja. Meski berotak cerdas, sikap Samphan sehari-hari selalu ditandai ciri antikemewahan dan kemapanan material.

Sikap itu terbawa saat ia menjadi menteri perdagangan tahun 1962 dalam pemerintahan Sihanouk. Kebiasaannya naik motor ke kantor mengundang banyak simpati di kalangan mahasiswa, namun segeramenimbulkan kebencian di jajaran birokrat. Konflik itu memuncak dengan terjadinya demo antikorupsi oleh para mahasiswa militan. Ujungnya, Samphan dituduh berada di balik aksi itu. Situasi tersebut memaksanya lari ke hutan. Sejak itu, ia masuk Khmer Merah.

Lon Nol berhasil mendepak Sihanouk tahun 1970. Namun berkat Khmer Merah, Raja Kamboja itu berhasil mendirikan Pemerintahan Kesatuan Kerajaan Nasional Kamboja (GRUNC) dengan Samphan sebagai Menhan. Ketika pemerintahan presidium terbentuk setahun setelah Khmer Merah merebut Phnom Penh 17 April 1975, Samphan pun segera diangkat sebagai Presiden (1976-1979) dan memimpin dewan menteri yang terdiri dari Pol Pot (PM), Ieng Sary (Wakil PM Urusan LN), dan Son Sann (Wakil PM Urusan Ekonomi).

Karir puncak Samphan di jajaran birokrasi Khmer Merah terjadi saat ia menjabat Wapres Pemerintahan Demokratik Kamboja di pengasingan dan kemudian Ketua Khmer Merah (1985-1991).

Pol Pot telah mati. Tak ayal, tudingan dunia internasional kepada para pemimpin Khmer Merah atas terjadinya genocide di Kamboja tahun 1975-1979 itu pun jatuh ke pundak Khieu Samphan dan Nuon Chea. Meski pemerintahan Phnom Penh didesak agar segera membawa kedua mantan petinggi Khmer Merah ini ke Mahkamah Internasional guna mempertanggungjawabkan kejahatannya melawan kemanusiaan, PM Hun Sen enggan melakukannya.

Ia sendiri pernah menjadi perwira Khmer Merah. "Kita sebaiknya mengubur dalam-dalam semua peristiwa masa lampau untuk lebih memusatkan perhatian pada masa depan. Banyak mantan anggota Khmer Merah yang telah 'bertobat' dan kini menjadi pegawai negeri. Haruskah saya sekarang membunuhi mereka untuk memulai lagi perang saudara?" katanya seperti dikutip Reuters belum lama ini. (Mathias Hariyadi)

Written and posted by Mathias Hariyadi
Published by Kompas, Sunday 3 January 1999
Sources: PIK Kompas
Halaman: 3
Penulis: HARIYADI, MATHIAS
Ukuran: 7319

Wednesday, 28 May 2008

KRI TNI AL, Tambatan Hati Pemudik

Kembali dengan Kapal Perang

AREAL tepi dermaga Pelabuhan Panjang, Bandarlampung, hari Minggu (25/2) menjadi pasar mendadak. Jual beli dilakukan dengan cara saling lempar. Maklum, penjual ada di dermaga, dan pembeli ada di geladak KRI Multatuli MA yang tengah lego jangkar sembari menunggu penumpang.

Para penjual melontarkan barang dagangannya dari bawah. Di atas kapal perang itu, para penumpang yang berjejer-jejer membentuk barisan pagar betis, tinggal menangkap barang-barang yang mereka pesan. Setelah barang didapat, penumpang di kapal tinggal melempar uang ke arah si pedagang yang siap menangkapnya di bawah.

Melempar uang pun harus dengan cara tersendiri. Salah-salah uang kertas bisa melayang terbawa angin, lalu nyemplung ke laut. Tak jarang botol aqua salah alamat, menimpa jidat-jidat penumpang lain yang tidak berniat membeli. Kalau itu yang terjadi, akan berbuah sumpah serapah, dan barang tak kembali ke pedagang.

Di luar adegan lucu-lucu konyol itu, para pedagang dadakan kelihatan sangat menikmati jerih payahnya. "Lumayan, baru setengah jam berdiri saya sudah laku menjual dua kardus aqua kemasan besar," kata Puadi (45) dengan wajah berseri.

Air mineral kemasan besar ia jual Rp 2.000 per botol, padahal modalnya hanya Rp 900 per botol. Setiap kardusnya berisi 12 botol. Kalau ia berhasil menjual dua kardus, untungnya Rp 26.400, dan itu diperoleh hanya dalam waktu setengah jam. Ini belum penghasilan dari minuman kaleng yang dijualnya Rp 3.000, dengan harga beli Rp 1.250. Sesuai namanya yang kagetan, transaksi dagang ini berlangsung hanya sekilas. Boleh jadi hanya dua jam, yakni saat menunggu KRI Multatuli diberangkatkan membawa penumpang ke Jawa setelah mudik lebaran di Sumatera. Tetapi naluri bisnis masyarakat seputar Pelabuhan Panjang ini, patut diacungi jempol!

Pada tepian dermaga, KRI Multatuli MA yang bernomor lambung 561 dengan kapasitas penumpang sebanyak 1.000 orang itu dengan sabar menunggu "penumpang istimewa" meniti tangga kapal satu per satu. Disebut "penumpang istimewa", sebab seluruh penumpang yang jumlahnya mencapai 960 orang itu, merupakan para pemudik balik yang akan dibebaskan dari segala biaya alias gratis. Mereka adalah para pemudik yang akan kembali berjuang di tanah Jawa setelah berlebaran di kampung halamannya, Sumatera. Mereka adalah bagian dari "arus balik" para penumpang yang akan kembali ke Jakarta dan kota sekitar.

Pardi (30), buruh pabrik yang bekerja di pinggiran Jakarta mengakui, mudik balik dengan menumpang kapal perang baru pertama kali ini ia lakukan. "Kebetulan saja tadi pagi saya baca berita di Kompas, lalu saya putuskan datang ke sini (Pelabuhan Panjang-Red)," kata Pardi sambil antri.

Ikut menumpang kapal perang untuk pertama kalinya juga dialami Hamdani (48), seorang buruh bangunan yang mengaku termasuk salah seorang korban "Tragedi Merak" sehari sebelum Lebaran. Ia semaput dan benar-benar pingsan saat berada di Merak untuk menyeberang ke Bakauheni. Menurut dia, jauh lebih baik naik di Pelabuhan Panjang dengan naik KRI daripada harus berdesakan di Bakauheni.

"Bukan soal gratisnya, tetapi saya kapok kalau sampai pingsan lagi seperti di Merak," kenang Hamdani sambil tersenyum kecut. Lain lagi pengalaman Isap (19), buruh di Tangerang yang mengaku berasal dari Talangpadang, Lampung Selatan. Sebelumnya, ia merasa ngeri naik kapal perang.

"Habis gimana ya? Begitu mendengar nama kapal perang, yangterlintas di benak saya justru duduk di dekat torpedo atau meriam. Tapi untunglah, keramahan para pelaut mampu mengusir ketakutan itu," ujarnya sambil tertawa renyah.

Kalau sikap dan perilaku para pelaut itu tampak keras dan tegas, itu jelas karena mereka adalah militer yang setiap hari tanpa putus bergulat dengan ganasnya ombak lautan. Tapi ketika berhadapan dengan sesamanya yakni para pemudik, seketika itu juga kesan keras dan kasar segera musnah. Yang tampak justru wajah simpati dan keramahan.

Menurut Komandan KRI Multatuli MA Letkol (L) Juendy, para pelaut diharuskan bersikap seperti itu agar para pemudik jangan sampai canggung naik kapal perang. Hal yang sama juga ditegaskan oleh kolega Juendy, yakni Letkol (L) Slamet Yulistiyono yang menjadi Komandan KRI Teluk Sangkurilang. "Rasanya kami bangga juga bisa melayani penumpang sipil seperti mereka ini," ujarnya kepada Kompas di anjungan kapal.

Para pemudik balik yang naik kapal perang ini termasuk penumpang yang terpaksa "dibelokkan" dari Terminal Bus Induk Rajabasa. Maksudnya, agar mereka tidak sampai berjejalan di Pelabuhan Penyeberangan Bakauheni yang siang itu memang sudah semakin padat. Mereka yang sudah berhasil meniti kapal, segera melepas lelah dengan berdiri atau duduk-duduk, menyaksikan rekan-rekan mereka yang belum naik. Sementara yang belum naik, harus sabar dulu bermain ular-ularan alias ngantri sebelum akhirnya sampai ke titian kapal.

Co-wriiten and reported by Mathias Hariyadi, Pepih Nugraha and Nal
Published by Kompas, Tuesday 27 Februari 1996

Tuesday, 27 May 2008

Diez Diez Danza Espana

Keindahan Tari Puitik Spanyol

Duet koreografer Monica Runde-Pedro Berdayes bersama kelompok Diez Diez Danza dari Spanyol benar-benar memenuhi janjinya. Tidak cuma kehangatan yang disodorkan. Keindahan puitik lewat gerak-gerak dinamis juga mereka peragakan dalam pertunjukan sekitar 70 menit di Gedung Kesenian Jakarta, Selasa (13/10) malam.


Eksplorasi geraknya kaya, meski sepintas terkadang tampak sederhana dan cenderung repetitif. Panggung pun tak pernah mereka biarkan kosong tanpa arti. Pertunjukan yang masih akan diulang Rabu (14/10) malam dan merupakan rangkaian pentas Art Summit IndonesiaII-1998 itu memberi sentuhan balet klasik pada tiga nomor tarian modern yang ditampilkan para penari dari negeri Matador tersebut. Keindahan dari khasanah klasik itu bukan hanya dihidupkan semangatnya, tapi terkadang juga dipakai dalam varian teknik geraknya.

Tengoklah cara mereka memanfaatkan ruang dengan pergerakan tubuh yang luwes dan memikat, lalu membentuk bidang-bidang diagonal di atas panggung. Gerakan tubuh menggelosor yang bertumpu pada pantat dan pinggul, atau perpindahan tubuh sambil duduk seraya memanfaatkan bagian luar telapak kaki -sementara kain hitam menutupi sebagian kakisehingga si penari tampak seolah-olah bergerak di atas ombak- memberi sentuhan puitik pada garapan Monica Runde. Indah tapi juga liat dan kuat.

Keindahan puitik ini sangat terasa pada komposisi ketiga, Anyway (15 menit). Begitu sepasang penari muncul di bawah cahaya remang-remang, pentas dibawa ke satu situasi yang tak terhingga. Di sudut kanan belakang sebentuk gelas cocktail ukuran raksasa berdiri tegak. Sinarlampu berpendar terang, memberi kehangatan pada ruang yang diisi oleh gerak-gerak repetitif kedua penari. Gerakan berputar dengan satu kaki yang bertumpu pada tumit, diikuti sentakan badan dan leher ke belakang, menghasilkan tontonan yang memukau.

Kedua penari -dibawakan sendiri oleh Monica Runde dan Pedro Berdayes; keduanya adalah koreografer sekaligus pendiri Diez Diez Danza- berhasil mengolah ruang dengan ungkapan gerak-gerak ritmis.

Tema cinta terasa kental, sekaligus indah dan puitik. Ketika kedua penari 'bergulat' di atas panggung, di bawah cahaya yang berubah biru, sang penari perempuan bergerak dengan menyentakkan perut lalu meloncat berdiri. Pada hentakan berikutnya ia sudah bertengger dan bersidekap di tubuh pasangannya dengan kaki melingkar, sebelum akhirnya perlahan turun dan merunduk di lantai.


Efek visual

Dalam kesederhanaan ruang yang berlatar gelap, ungkapan gerak yang diperlihatkan duet penari-koreografer Monica Runde dan Pedro Berdayes sungguh memikat. Tak cuma lewat permainan gerak yang mengalir bagai air, pada nomor ketiga ini Runde dan Berdayes juga memanfaatkan efek visual yang terkesan puitik. Begitu serbuk putih seperti tepung yang diambil dari gelas cocktail raksasa dilempar ke atas, panggung mendadak berubah menjadi seperti awan mengambang. Cahaya pun berpendar-pendar di tengah ruang yang terkesan romantik.


Sesekali kedua penari berlari-lari kecil mengelilingi panggung. Gerakan ringan itu selalu diakhiri penyatuan tubuh kedua penari, lalu lepas, bersatu, dan lepas lagi. Adegan itu diperagakan dengan sangat halus dan indah. Juga ketika penari pria mengusung tubuh pasangannya, menyeret-nyeretnya, lalu dilemparkan ke lantai, hingga gerakan berputar-putar seperti gasing mainan anak-anak.


Tarian ini diakhiri dengan karikatur. Keduanya dikerek naik. Sambil mengenakan kacamata hitam, mereka "mengadu" botol minuman dan memuncratkan serbuk putih. Dalam tirai asap terdengarlah nyanyian Freddy Mercury: I want to break free.


Hangat, indah, dan dinamis. Barangkali itulah inti pertunjukan Diez Diez Danza yang disesaki penonton di Gedung Kesenian Jakarta. Pada dua nomor sebelumnya, O Beijo alias The Kiss (30 menit) dan Petrus atawa Let Them Fly (20 menit), pola gerak yang diperagakan oleh dua pasang penari juga tak kalah menarik.


Tarian O Beijo atau tari "Ciuman" menggambarkan hubungan tiga anak manusia yang terlibat urusan cinta. Selain konflik yang mewarnai hubungan segitiga itu, ungkapan birahi dan cemburu disajikan lewat gerak tubuh dan mimik wajah. Seluruh organ tubuh para penari sepertimemiliki fungsi. Mulai dari hentakan kepala, putaran bahu, kaki dan telapak tangan yang dipukulkan ke lantai, hingga sorot mata penuh kemarahan, menjadikan nomor ini terasa kaya akan bentuk dan gerak.

Begitupun pada komposisi Petrus. Empat penari yang tampil berpasangan muncul dalam iringan musik Bach yang sendu. Selama sekitar 20 menit, dua pasang penari -dua laki-laki dan dua perempuan- terus bergerak mengitari panggung dengan berbagai tampilan. Oleh sang koreografer, Monica Runde, tarian ini lebih dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa berbagai macam gerak dalam tari sesungguhnya tidak mengenal jenis kelamin. Apa yang bisa dilakukan laki-laki juga dapat dimainkan oleh perempuan. Begitu pun sebaliknya.


Di tangan Monica Runde, tema kesetaraan itu ia garap dengan gaya yang terkadang terkesan jenaka. Bahkan pada beberapa bagian, Runde cenderung menampilkannya dengan memberi peluang pada tafsir tentang kehidupan kaum homoseksual. Ini sangat terlihat pada gestur dantatapan mata penari pria berkepala botak (Tanguy Cochennec) yang bergairah ketika berdekapan dengan pasangannya yang dimainkan Pedro Berdayes. (ryi/bre/efix/ken)


Gerak Indah-- Sebuah adegan dalam tari Anyway yang penuh dengan gerak indah, dibawakan Monica Runde dan Pedro Berdayes, Senin (12/10), sewaktu gladi bersih untuk Art Summit Indonesia II/1998. Penampilan tari dari Spanyol ini semalam (13/10) memikat ratusan penonton yang memenuhi Gedung Kesenian Jakarta.

Co-written by Mathias Hariyadi and Efix Mulyadi
Also attended by Bre Redana, Kenedy Nurhan
Published by Kompas, Wednesday 14 October 1998
Halaman: 1 Penulis: RYI/BRE/EFIX/KEN
Database Kliping MATHIAS HARIYADI
222.124.79.135
Photo creditt: Kompas/Arbain Rambey
Photo caption: Kompas/Mathias Hariyadi