Monday, 15 September 2008

Live Life Without Limits

The top five cancer-causing foods are:

1. Hot dogs
Because they are high in nitrates, the Cancer Prevention Coalition advises that children eat no more than 12 hot dogs a month. If you can't live without hot dogs, buy those made without sodium nitrate.

2. Processed meats and bacon
Also high in the same sodium nitrates found in hot dogs, bacon, and other processed meats raise the risk of heart disease. The saturated fat in bacon also contributes to cancer.

3. Doughnuts
Doughnuts are cancer-causing double trouble. First, they are made with white flour, sugar, and hydrogenated oils, then fried at high temperatures. Doughnuts, says Adams , may be the worst food you can possibly eat to raise your risk of cancer.

4. French fries
Like doughnuts, French fries are made with hydrogenated oils and then fried at high temperatures. They also contain cancer- causing acryl amides which occur during the frying process. They should be called cancer fries, not French fries, said Adams.

5. Chips, crackers, and cookies
All are usually made with white flour and sugar. Even the ones whose labels claim to be free of trans-fats generally contain small amounts of trans-fats.

UU Anti Pornografi: Kebangsaan Indonesian Dipertaruhkan

RUU Porno: Arab atau Indonesia?

Seorang teman saya, seorang Indonesia, ibu dari tiga anak dewasa, pernah berkunjung ke Arab Saudi. Ia tinggal di sebuah keluarga di Riyadh. Pada suatu hari ia ingin berjalan ke luar rumah.

Sebagaimana adat di sana, ia bersama saudaranya yang tinggal di kota itu melangkah di jalan dengan purdah hitam lengkap. Hanya sepasang matanya yang tampak.

Tapi ia terkejut. Di perjalanan beberapa puluh meter itu, tiba-tiba dua mobil, penuh lelaki, mengikuti mereka, mengitari mereka. Mata para penumpangnya nyalang memandangi dua perempuan yang seluruh tubuhnya tertutup itu.

"Apa ini?" tanya perempuan Indonesia itu kesal.

Cerita ini nyata--dan bisa jadi bahan ketika DPR membahas RUU "Anti Pornografi dan Pornoaksi" (kita singkat saja: "RUU Porno"). Cerita ini menunjukkan bahwa dengan pakaian apa pun, perempuan dapat dianggap merangsang berahi lelaki. Tapi siapa yang salah?

"Yang dapat membangkitkan nafsu berahi adalah haram," kata Fatwa MUI Nomor 287 Tahun 2001. Bagi MUI, yang dianggap sebagai sumber "nafsu berahi" adalah yang dilihat, bukan yang melihat. Yang dilihat bagi MUI adalah benda-benda (majalah, film, buku--dan perempuan!), sedang yang melihat adalah orang, subyek, yaitu laki-laki.

"RUU Porno" itu, seperti fatwa MUI, jelas membawa semangat laki-laki, dengan catatan khusus: semangat itu mengingatkan saya akan para pria yang berada di dua mobil dalam cerita di atas. Mereka melihat "rangsangan" di mana saja.

Di Tanah Arab (khususnya di Arab Saudi yang dikuasai kaum Wahabi yang keras), sikap mudah terangsang dan takut terangsang cukup merata, berjalinan, mungkin karena sejarah sosial, keadaan iklim, dan lain-lain. Saya tak hendak mengecam itu.

Soalnya lain jika semangat "takut terangsang" itu diimpor (dengan didandani di sana-sini) ke Indonesia, atas nama "Islam" atau "moralitas".

Masalah yang ditimbulkan "RUU Porno" lebih serius ketimbang soal bagaimana merumuskan pengertian "merangsang" itu. RUU ini sebuah ujian bagi masa depan Indonesia: apakah Republik 17 ribu pulau ini--yang dihuni umat beragam agama dan adat ini--akan dikuasai oleh satu nilai seperti di Arab Saudi? Adilkah bila nilai-nilai satu golongan (apalagi yang belum tentu merupakan mayoritas) dipaksakan ke golongan lain?

Saya katakan nilai-nilai di balik "RUU Porno" datang dari satu golongan "yang belum tentu merupakan mayoritas", sebab tak semua orang muslim sepakat menerima nilai-nilai yang diilhami paham Wababbi itu. Tak semua orang muslim Indonesia bersedia tanah airnya dijadikan sebuah varian Arab Saudi.

Ini pokok kebangsaan yang mendasar. "Kebangsaan" ini bukan nasionalisme sempit yang menolak nilai-nilai asing. Bangsa ini boleh menerima nilai-nilai Wahabi, sebagaimana juga kita menerima Konfusianisme, loncat indah, dan musik rock. Maksud saya dengan persoalan kebangsaan adalah kesediaan kita untuk menerima pluralisme, kebinekaan, dan juga menerima hak untuk berbeda dalam mencipta dan berekspresi.

Mari kita baca sepotong kalimat dalam "RUU Porno" itu:

Dalam penjelasan pasal 25 disebutkan bahwa larangan buat "pornoaksi" (sic!) dikecualikan bagi "cara berbusana dan/atau tingkah laku yang menjadi kebiasaan menurut adat istiadat dan/atau budaya kesukuan". Tapi ditambahkan segera: "sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan ritus keagamaan atau kepercayaan".

Artinya, orang Indonesia hanya bebas berbusana jika pakaiannya terkait dengan "adat istiadat" dan "budaya kesukuan". Bagaimana dengan rok dan celana pendek yang tak ada dalam "adat istiadat" dan "budaya kesukuan"?

Tak kalah merisaukan: orang Jawa, Bali, Papua, dan lain-lain, yang berjualan di pasar atau lari pagi di jalan, harus "berbusana" menurut selera dan nilai-nilai "RUU Porno". Kalau tidak, mereka akan dihukum karena berjualan di pasar dan lari pagi tidak "berkaitan dengan pelaksanaan ritus keagamaan atau kepercayaan".

Ada lagi ketentuan: "Setiap orang dilarang membuat tulisan, suara atau rekaman suara, film atau yang dapat disamakan dengan film, syair lagu, puisi, gambar, foto, dan/atau lukisan yang mengeksploitasi daya tarik bagian tubuh tertentu yang sensual dari orang dewasa".

Jika ini diterima, saya pastikan kesenian Indonesia akan macet. Para pelukis akan waswas, sastra Indonesia akan kehilangan puisi macam Chairil, Rendra, dan Sutardji serta novel macam Belenggu atau Saman. Koreografi Gusmiati Suid atau Maruti akan terbungkam, dan film kita, yang pernah melahirkan karya Teguh Karya, Arifin C. Noer, Garin Nugroho, sampai dengan Riri Riza dan Rudi Sujarwo akan menciut ketakutan. Juga dunia periklanan, dunia busana, dan media.

Walhasil, silakan memilih:
A. Indonesia yang kita kenal, republik dengan keragaman tak terduga-duga, atau
B. Sebuah negeri baru, hasil "RUU Porno", yang mirip gurun pasir: kering dan monoton, kering dari kreativitas.

Gunawan Mohammad
dalam "Catatan Pinggir"

Benoît XVI prône la fermeté de l'Eglise face aux défis du monde contemporain

Benoît XVI a prôné la fermeté de l'Eglise face aux défis du monde contemporain, dimanche à Lourdes, en réaffirmant l'"indissolubilité" du mariage, en défendant la libéralisation de l'ancienne messe en latin et en appelant à nouveau à une laïcité ouverte.

"L'Eglise, qui ne peut s'opposer à la volonté du Christ, maintient fermement le principe de l'indissolubilité du mariage", a déclaré le pape, s'adressant à 170 évêques et cardinaux dans une salle des Sanctuaires, à propos des catholiques divorcés et remariés, qui, selon le droit canon, sont interdits de communion pendant la messe.

Benoît XVI a cependant estimé que l'Eglise devait entourer "de la plus grande affection ceux et celles qui ne parviennent pas à respecter" ce principe, admettant qu'il s'agissait d'une "question particulièrement douloureuse".

Le pape a souligné qu'on "ne pouvait donc admettre les initiatives qui visent à bénir des unions illégitimes", alors que dans un certain nombre de paroisses de France, des prêtres proposent des bénédictions pour les divorcés remariés et acceptent de leur donner la communion.

Dans son intervention aux accents de mise au point, et qui a été assez tièdement applaudie, le pape a également évoqué une question particulièrement sensible en France, celle de la libéralisation de la messe en latin.

"Les rapports du pape avec les évêques ne sont pas des rapports de patron à employés. Il n'est pas un PDG d'une multinationale qui vient visiter une succursale", a affirmé le cardinal André Vingt-Trois, président de la Conférence des évêques de France, à l'issue de cette rencontre, estimant que le pape n'avait pas voulu rappeler les évêques à l'ordre.

Les relations entre le pape et les évêques "ne sont pas des rapports de subordination servile", a-t-il souligné.

Devant les évêques, Benoît XVI a justifié sa décision de réhabiliter la messe en vigueur avant le concile Vatican II, accueillie avec réserve par une partie de l'Eglise de France qui l'a interprétée comme une main tendue aux traditionalistes et a appelé les catholiques à "l'unité".

"Efforçons-nous donc toujours d'être des serviteurs de l'unité (...) Nul n'est de trop dans l'Eglise. Chacun, sans exception, doit pouvoir s'y sentir chez lui, et jamais rejeté", a-t-il insisté.

Il est revenu sur la question de la laïcité, abordée dès le début de sa visite vendredi à l'Elysée devant le président Sarkozy.

La réaffirmation par le chef de l'Etat de son souhait d'une "laïcité positive", concept qu'il avait prôné dès décembre 2007, a fait renaître la polémique sur ce thème de la laïcité, toujours sensible en France plus d'un siècle après la loi de 1905 sur la séparation des Eglises et de l'Etat.

Benoît XVI a pris soin de souligner que le Vatican "désirait respecter" l'"originalité de la situation française" et affirmé que "l'Eglise ne revendiquait pas la place de l'Etat" et "ne voulait pas se substituer à lui".

Il a néanmoins plaidé pour "la mise en évidence des racines chrétiennes de la France (qui) permettra à chacun des habitants de ce pays de mieux comprendre d'où il vient et où il va".

Benoît XVI prône la fermeté de l'Eglise face aux défis du monde contemporain

"Dans le cadre institutionnel existant et dans le plus grand respect des lois en vigueur, il faudrait trouver une voie nouvelle pour interpréter et vivre au quotidien les valeurs fondamentales sur lesquelles s'est construite l'identité de la nation", a affirmé l'évêque de Rome.

Dans la matinée, Benoît XVI avait rendu hommage à Marie, "étoile de l'espérance", en célébrant une messe pour le "150e anniversaire des apparitions de la Vierge à Bernadette Soubirous", but premier de son voyage de quatre jours en France.
Comme à Paris, le pape a donné la communion dans la bouche aux fidèles, qui l'ont reçue à genoux.

Lundi matin, le pape célébrera une messe pour les malades sur l'esplanade de la basilique de Notre-Dame du Rosaire avant de quitter Lourdes pour Rome en milieu de journée.

Sunday, 14 September 2008

Ujung Genteng, Pantai Pijat Plus ++ (Part 1)

Lama dikenal sebagai tempat penangkaran penyu belimbing, Pantai Ujung Genteng sungguh menarik untuk dikunjungi. Itu setidaknya, kesan kental yang menggumpal di benak usai menelusuri informasi tentang Ujung Genteng.


Memanglah, bahasa iklan bisa “merekaya” kesan spontan setiap pembacanya. Tak terkecuali pun saya. Berbekal niat mantap serta rasa ingin tahu soal penangkaran penyu belimbing yang konon masuk daftar hewan dilindungi, maka meluncurlah Honda GL Pro B-4599-PF made in tahun 1999 menuju kawasan di ujung barat laut Jawa Barat itu, awal September 2008.


Panorama sepanjang jalan Cibadak-Cikidang-Pelabuhan Ratu amat menakjubkan. Dengan hamparan perbukitan yang hijau oleh pohon kelapa sawit, sangatlah nyaman berkendara menyusuri punggung bukit hijau ini. Jalan berkelok-kelok dengan tikungan serba tajam tak mampu menyurutkan nyali berkendara.


Yang terjadi sebaliknya: adrenalin terpacu dan wuuzzz.... sedikit ngebut lantara jalanan memang sepi. Setahun lalu, penduduk setempat sempat mengingatkan saya agar tidak melaju di jalur sepi ini di atas pukul 17.00 WIB. “Pokoknya, rawan,” begitu isi obrolan tukang ojek ketika berbincang santai saat saya mengambil jeda untuk istirahat minum.


Saya sempat terkesiap waktu itu, lantaran jam sudah menunjuk angka 16.15 WIB dan setahun lalu, saya betul-betul belum mengakrabi kawasan ini. Namun, tekad sudah bulat: harus sudah sampai di Pelabuhan Ratu sebelum malam datang.


“Berapa jam, dari Cikidang ke Pelabuhan Ratu?” tanya saya kepada penduduk.

“Kalau orang-orang sini, tak lebih dari 30 menit,” jawab mereka tegas.


Untuk menyusuri jalan berkelok-kelok dengan kecepatan tak lebih dari 30 km, tentu tak mudah memenuhi harapan mulia itu. Apalagi, ketika matahari sudah mulai beradu di ufuk barat. Belum lagi, saya juga kurang hafal dengan kondisi jalan yang meliuk-liuk naik turun dengan kemiringan yang terjal.


Tapi itu tahun lalu.


Awal september 2008, segala kecemasan itu sudah sirna. Apalagi, sampai di Cikidang dari arah Semplak, Parung, hari masih menjelang siang. Tak ayal, jarak 18 km menuju Pelabuhan Ratu bisa terlampaui dengan kurun tempo tak kurang dari 45 menit.


Tapi jalan Pelabuhan Ratu-Ujung Genteng?


Informasi dari Kelvin Yo Filla, temen di BSD, kurang begitu mendetil. “Jalanan sepi dan menyuri kawasan hutan,” begitu isi obrolan pemuda ini.

Memanglah demikian adanya.

Begitu meninggalkan pertigaan Pelabuhan Ratu arah Ujung Genteng, jalan terasa menanjak drastis. Saya menyempatkan diri beristirahat sejenak, membeli ransum minuman dan makanan serta buah untuk antisipasi kalau-kalau tak bisa menjumpai warung di sepanjang kawasan hutan ini.


Maklum, ini adalah hari pertama menjelang puasa. Jadi, tak banyak warung akan buka.


Doaku hanya satu: jangan sampai ban saya gembos atau kena paku. Bisa celaka dan menyengsarakan, lantaran di sepanjang jalur zig-zag di hutan perbukitan ini, nyaris tak banyak warung tambal ban. Hiburan yang ada hanyalah panorama perbukitan dengan warna-warni pohon yang membuat mata tak jenuh-jenuh memandang.

Berkali-kali, saya terpaksa menghentikan laju perjalananan karena banyak tikungan dan mesti bertanya ke penduduk sekitar. “Ke arah mana Ujung Genteng?,” begitu isi pikiranku.


Plang tanda arah lalu lintas memang ada, namun keraguan sering menyergapku ketika harus memutuskan belok kanan atau ke kiri, toh keduanya menawarkan arah sama: Ujung Genteng.


Peta perjalanan yang menjadi andalan kompasku juga memberikan informasi sama: kanan oke, kiri juga oke. Nah, kalau begini, kepada siapa saya percaya?


Menunggui penduduk datang, perlu kesabaran tinggi. Di tengah permukiman hutan di perbukitan, amat menyenangkan bisa bertemu pejalan kaki atau pengendara dalam tempo 10 menit. Namun, saya mendapatkan kehadiran mereka setelah 20 menit menunggu.


Di tengah perjalanan, saya mendapati seorang bapak-bapak tampak loyo. Saya hampiri bapak itu sembari bertanya kemana arah Ujung Genteng. Dia menjawab dengan sebuah pertanyaan: “Apakah saya boleh nebeng sampai di Jampang Kulon?,”


Setali tiga uang. Saya menolong bapak ini dan mendapatkan guide terpercaya.

Payudara Oke Lantaran Positive Thinking

Merasa bahagia dan selalu berpikir positif adalah salah satu kunci penting dalam menjalani kehidupan. Dengan perasaan optimistis dan bahagia, risiko terserang berbagai penyakit pun dapat ditekan seminimal mungkin.


Pentingnya perasaan positif dan bahagia tercermin dari sebuah riset belum lama ini yang dimuat BioMed Central journal BMC Cancer. Hasil riset mengindikasikan wanita yang bahagia dan berpikir positif cenderung berisiko lebih rendah mengidap penyakit kanker payudara.

Dr Ronit Peled dari Ben-Gurion University of the Negev di Beer Sheva, Israel, dalam hasil risetnya menyatakan bahwa kebahagiaan dan optimisme mampu menekan risiko kanker payudara pada wanita hingga 25 persen. Sedangkan pengalaman atau kejadian traumatis seperti perceraian atau kehilangan seseorang yang dicintai dapat memburuk risiko.

“Kami secara hati-hati dapat menyatakan bahwa mengalami satu atau lebih kejadian menyedihkan adalah sebuah faktor risiko kanker payudara pada wanita muda. Di lain pihak, perasaan akan bahagia dan optimisme dapat memberikan perlindungan. Wanita muda yang mengalami sejumlah pengalaman buruk dalam hidupnya dipertimbangkan sebagai kelompok yang berisiko kanker payudara dan oleh sebab itu harus ditangani,'' ungkap Ronit Peled.

Tetapi Peled menekankan bahwa hasil risetnya jangan diartikan bahwa rasa bahagia dan optimisme menjadi gerbang utama untuk terhindar dari penyakit kanker payudara. "Konsumsi makan yang baik dan aktif secara fisik merupakan faktor yang harus diperhitungkan," tambahnya.

Dr Peled dan timnya meneliti sejumlah faktor yang berkaitan dengan stres psikologis seperti kehilangan orangtua sebelum berusia 20 tahun dan kaitannya dengan risiko kanker.Peled melakukan penelitian ini dilatarbelakangi tingginya faktor risiko kanker payudara yang dialami wanita Israel. Lebih-lebih wanita Israel kerap kerap disebut kelompok dengan risiko tertinggi di dunia dalam hal kanker payudara.

Sebanyak 255 wanita usia 25 - 45 tahun yang terindikasi kanker paru dilibatkan bersama 367 wanita usia sama yang tidak mengalami kanker. Peled dan timnya menanyakan sejumlah hal kepada para wanita seperti pandangan akan masa depan dan pengalaman traumatis akibat penyakit, kehilangan pekerjaan, perceraian hingga kematian.

Hasil analisis menunjukkan adanya hubungan yang jelas antara cara berpikir wanita dengan risiko mengidap kanker payudara. Mereka yang berpikir optimistis mencatat risiko 25 persen lebih rendah mengidap kanker. Sementra wanita yang mengalami dua atau tiga kejadian atau pengalaman traumatis mengalami peningkatan risiko sebesar 62 persen.

"Ditemukan bahwa perasaaan bahagia dan optimisme memberikan dampak protektif ," ujar peneliti

Brokoli: Presiden Bush Anti, Kita Jangan


Julukan brokoli sebagai makanan multi manfaat sepertinya tidak terbantahkan lagi. Sebuah hasil riset terbaru mengungkapkan sayuran brassica ini mengandung nutrien yang berkhasiat bagi kesehatan pernafasan.

Para ahli dari Johns Hopkins School of Medicine, Amerika Serikat, melalui risetnya menyatakan sejenis zat dalam brokoli mampu menekan kerusakan sel-sel yang memicu terjadinya penyakit paru-paru serius.

Zat bernama sulforapane ini terbukti mampu meningkatkan konsentrasi protein NRF2 dalam sel paru-paru sekaligus memberikan proteksi bagi sel dari ancaman kerusakan yang disebabkan toksin atau racun Dalam riset yang dimuat jurnal American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine ini, peneliti menemukan bahwa konsentrasi NRF2 secara signifikan lebih rendah di kalangan para perokok pengidap penyakit paru-paru obstruktif kronis (COPD).

Gen NRF2 ini berperan penting dalam mengembalikan dan mengaktifkan sejumlah mekanisme penting seperti menghilangkan racun dan polutan yang dapat merusak sel. Pada uji coba di laboratorium, tim peneliti yang dipimpin Dr Shyam Biswal berhasil membuktikan bahwa sulforapane mengembalikan dan meningkatkan kadar NRF2 yang sempat menurun dalam sel yang terpapar asap rokok.

Peningkatan kadar NRF2 melalui pemberian sulforapane, diyakini akan membawa pada terciptanya suatu terapi pengobatan serta pencegahan COPD. COPD adalah gangguan alat pernafasan kronis yang gejalanya termasuk sesak nafas, batuk, bengek, dan mengandung banyak dahak. Hal ini mengganggu fungsi paru-paru dan membatasi saluran pernafasan dan dapat mengakibatkan komplikasi pernafasan dan jantung. Jika didiamkan tanpa periksa, penyakit ini akn lebih buruk dengan bertambahnya usia. Penderita COPD biasanya kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari dan biasanya meninggal dalam usia muda.

Sehat dengan Jus

Mau Sehat, Minumlah Jus!


Pada buku Penyembuhan Alami dengan Jus, ahli gizi Prof. Dr. Nainggolan mengatakan bahwa zat-zat kebutuhan tubuh seperti protein, karbohidrat, lemak, mineral, vitamin, dan enzim, terdapat cukup banyak dalam buah-buahan, biji-bijian dan sayur.


Hanya saja, karena sayuran dan bahan-bahan itu dimasak, apalagi dengan suhu tinggi, maka zat-zat berkhasiat yang terdapat bisa berkurang kadarnya, bahkan lenyap. Kira-kira nutrien yang hilang pada bahan makanan yang dimasak 60-70 persen.

Sedangkan Dr. Norman Walker, dalam bukunya Fresh Vegetable and Fruits Juices, What’s Missing in Your Body mengatakan perlunya mengonsumsi makanan dalam bentuk seasli mungkin. Dengan kata lain, back to nature. Idealnya, makanan yang boleh dimasak hanya 30 persen saja, yaitu nasi, kentang, ubi, dan sebagainya. Sedangkan sisanya (70 persen) yang berupa biji, buah, sayur, harus dalam keadaan mentah.

Banyak makan sayur dan buah segar juga bisa memperpanjang usia. Sebaliknya, makanan yang dimasak matang akan memperpendek usia. Anda tak perlu takut makanan mentah akan mengganggu kesehatan. Asalkan kebersihannya dijaga, seperti dicuci terlebih dulu, rendam dan cuci kembali dengan air bersih sebelum dikonsumsi, maka Anda akan terhindar dari gangguan kesehatan.

Anda mungkin telah mengetahui keuntungan dari mengonsumsi buah dan sayuran segar. Persoalannya, Anda mungkin "eneg" jika harus memakannya dalam jumlah banyak. Sangat bisa dimengerti jika Anda kesulitan memakan sekantung wortel atau apel. Pasalnya, makanan dalam bentuk padat, masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan dan prosesnya memakan waktu berjam-jam, serta membutuhkan sistem pencernaan yang sehat.

Karena itu, solusinya adalah dengan membuat jus. Jus dapat masuk dan menyerap ke dalam aliran darah dengan sangat cepat, sehingga dapat membantu kerja pencernaan. Dengan mencairkan sekantung apel menjadi jus apel yang segar, tubuh akan menerima nutrisi yang super padat dan mudah diserap serta merasa kenyang. Ketika meminum jus buah dan sayuran, yang hilang hanyalah serat, namun zat-zat gizi lain yang masuk jauh lebih banyak. Jadi, mulai sekarang, rajinlah minum jus.

Enrich Your Life Now

Spiritual Enlightenment


A University Professor went to see an enlightened Master, to find out more about spiritual enlightenment.


As their meeting continued 'The Master' was pouring tea and continued to pour even though the cup was overflowing.


The Professor cried. "Enough! No more will go in!"


'The Master' replied "Like this cup you are full of your own opinions and speculations. How can I show you spiritual enligtenment unless you first empty your cup?"


Unkown Source

That's a great summary of spiritual enlightenment. It's not something that you find. You become enlightened when you discard aspects of your ego that block your connection with the divine.

Here is another relevant quote

In the pursuit of learning, every day something is acquired. In the pursuit of Tao, every day something is dropped.


Lao Tsu

The way to undo this block, is to work on two things.

1. Creating a still mind.

2. Clearing your emotional baggage

BuT to do these two things you need to understand many things.

1. What thoughts are and where they originate.

2. How you (the individual) think.

3. Why you think certain thoughts and not others.

4. How to correct your thought process.

5. What your emotions are.

6. How to feel your emotions.

7. How to render your emotions powerless.


In respect to spiritual enlightenment I have three solutions for you.

1. You can read all about it on this web site and give it a try yourself. Everything you need is here in one shape or another. It just takes a long time to piece it all together but it's free. (spiritual enlightenment - You can start here)


If you read the articles in the 'aymens articles section' you will be off to a flying start. There are countless other articles that either directly or indirectly address the subject.

2. You can purchase the 'Key To Life Manual' which explains what to do. Find out more here

3. You can be personally coached through the process by me. This is the best way to do it because you have an expert beside you to show you the way.


Cara Kita Bertindak


Beware of Garbage Trucks

by David J. Pollay

How often do you let other people’s nonsense change your mood? Do you let a bad driver, rude waiter, curt boss, or an insensitive employee ruin your day? Unless you’re the Terminator, you’re probably set back on your heels. However, the mark of your success is how quickly you can refocus on what’s important in your life.


Sixteen years ago I learned this lesson. And I learned it in the back of a New York City taxi cab. Here’s what happened.


I hopped in a taxi, and we took off for Grand Central Station. We were driving in the right lane when all of a sudden, a black

car jumped out of a parking space right in front of us. My taxi driver slammed on his brakes, the car skidded, the tires squealed, and at the very last moment our car stopped just one inch from the other car’s back-end.


I couldn’t believe it. But then I couldn’t believe what happened next. The driver of the other car, the guy who almost caused a big accident, whipped his head around and he started yelling bad words at us. How do I know? Ask any New Yorker, some words in New York come with a special face. And for emphasis, he threw in a one finger salute, as if his words were not enough.


But then here’s what really blew me away. My taxi driver just smiled and waved at the guy. And I mean, he was friendly. So, I said, “Why did you just do that!? This guy could have killed us!” And this is when my taxi driver told me what I now call, “The Law of the Garbage Truck™.”


Hesaid: Many people are like garbage trucks. They run around full of garbage, full of frustration, full of anger, and full of disappointment. As their garbage piles up, they look for a place to dump it. And if you let them, they’ll dump it on you.

So when someone wants to dump on you, don’t take it personally. Just smile, wave, wish them well, and move on. Believe me. You’ll be happier.


So I started thinking, how often do I let Garbage Trucks run right over me? And how often do I take their garbage and spread it to other people at work, at home, or on the street? It was then that I said, “I don’t want their garbage and I’m not going to spread it anymore.”


I began to see Garbage Trucks. Like in the movie “The Sixth Sense,” the little boy said, “I see Dead People.” Well now “I see Garbage Trucks.” I see the load they’re carrying. I see

them coming to dump it. And like my taxi driver, I don’t take it personally; I just smile, wave, wish them well, and I move on.


One of my favorite football players of all time is Walter Payton. Every day on the football field, after being tackled, he would jump up as quickly as he hit the ground. He never dwelled on a hit. Payton was ready to make the next play his best. Over the years the best players from around the world in every sport have played this way: Tiger Woods, Nadia Comaneci, Muhammad Ali, Bjorn Borg, Chris Evert, Michael Jordan, and Pele are just some of those players. And the most inspiring leaders have lived this way: Nelson Mandela, Mother Theresa, Ghandi, and Martin Luther King.


See, Roy Baumeister, a psychology researcher from Florida State University, found in his extensive research that you remember bad things more often than good things in your life. You store the

bad memories more easily, and you recall them more frequently.


So the odds are against you when a Garbage Truck comes your way. But when you follow The Law of the Garbage Truck™, you take back control of your life. You make room for the good by letting go of the bad.


The best leaders know that they have to be ready for their next meeting. The best sales people know that they have to be ready for their next client. And the best parents know that they have to be ready to welcome their children home from school with hugs and kisses, no matter how many garbage trucks they might have faced that day. All of us know that we have to be fully present, and at our best for the people we care about.


The bottom line is that successful people do not let Garbage Trucks take over their lives.

What about you? What would happen in your life, starting today, if you let more garbage trucks pass you by?


Saturday, 13 September 2008

Wisma Siloam, Nginap Gratis di Sendang Sono


Seorang awam Katolik menawarkan penginapan gratis di sebuah rumah yang dibangun di atas tanah miliknya untuk para peziarah Gua Maria Sendangsono di Yogyakarta.

"Yang membangun rumah ini betul-betul Bunda Maria. Tidak mungkin saya sendiri membangun dan membiayainya tanpa bantuan Bunda Maria," tegas Aloysius Agus Suparto, 62, seorang bekas sopir di Kolese Ignatius yang dikelola Serikat Yesus di Kotabaru, Yogyakarta.

Ia membutuhkan waktu sembilan tahun untuk membangun Wisma Siloam, jelasnya. "Dengan memohon bantuan Bunda Maria, saya mengumpulkan batu, membeli batu bata dan semen sedikit demi sedikit, dan mulai membangun jika tersedia bahan-bahan bangunan," katanya. Setelah selesai dibangun, lanjutnya, "saya ingin mempersembahkan rumah ini kepada Bunda Maria sebagai pemiliknya, dengan cara menyediakan rumah ini secara gratis bagi para peziarah yang ingin menemui Bunda Maria."

Rumah seluas 200 meter persegi dan berlantai dua itu memiliki dua ruang terbuka yang cukup luas. Di kedua ruang itu disediakan sejumlah tikar sebagai alas tidur bagi para peziarah. Juga terdapat dua kamar tertutup yang berisi tempat tidur dan kasur busa yang sederhana untuk pasangan suami-isteri. Rumah yang terletak 25 meter sebelah barat Gua Maria Sendangsono itu bisa menampung sekitar 80 orang.

Nama Sendangsono berarti "mata air yang mengalir di bawah pohon." Dari sinilah benih-benih iman Katolik mulai disebarkan 100 tahun lalu di Jawa. Pada 14 Desember 1904, Pastor Frans van Lith SJ memberkati mata air itu dan menggunakan air itu untuk membaptis 171 orang Jawa. Merekalah umat Katolik Jawa yang pertama.
Gua Maria Sendangsono dikelola oleh Paroki St. Maria Lourdes di Promasan, barat laut Yogyakarta.

Gua itu merupakan Gua Maria paling terkenal di tanah air.
Tanah tempat mata air yang digunakan oleh Pastor van Lith dan Gua Maria Sendangsono itu adalah milik keluarga Suparto. Salah seorang anggota keluarga itu adalah orang Katolik Jawa yang dibaptis pertama kali di sana. Keluarga itu memberikan sebidang tanah seluas 3.000 meter persegi kepada Gereja.

Rumah untuk para peziarah itu dibangun di dekat rumah Suparto, tempat kelahirannya. Di sana, ia menjual makanan, minuman, dan berbagai benda rohani.
Suparto menjelaskan bahwa ia membangun rumah itu karena merasa prihatin dengan para peziarah, khususnya orang tua, yang datang untuk berdoa kepada Bunda Maria.

Mereka sering berdoa hingga larut malam atau dini hari, kemudian tidur di tempat terbuka, katanya. Sekarang, jika udara di luar sangat dingin, mereka bisa "masuk ke rumah itu untuk melanjutkan doa mereka."
Berdoa dan berpuasa hingga larut malam merupakan bagian dari tradisi spiritual di Jawa. Warga desa, khususnya orang tua, menjalani matiraga selama hari-hari dalam kalender Jawa yang dianggap memiliki nilai spiritual untuk memperkuat diri mereka. Untuk melaksanakan tradisi yang mengakar dalam mistik Jawa ini, umat Katolik berdoa di sejumlah Gua Maria, termasuk Sendangsono.

Suparto mengatakan, ia tidak pernah berhenti bersyukur kepada Allah karena ia dilahirkan di dekat Gua Maria Sendangsono, "magnet" yang menarik banyak peziarah, bahkan dari manca negara.
"Kakek buyut saya adalah salah seorang dari 171 orang Katolik Jawa pertama yang dibaptis hampir 100 tahun lalu oleh Pastor van Lith. Saya merasa sangat bangga dan bersyukur, dan hal ini tidak bisa digantikan oleh apa pun juga," lanjutnya. Suparto menekankan bahwa rumah yang diberkati oleh Uskup Agung Semarang Mgr Ignatius Suharyo saat pembukaan Tahun Yubileum Agung 2000 itu bukan merupakan sebuah hotel atau losmen tapi memberikan penginapan gratis.

"Mengapa? Karena selama bertahun-tahun saya merasa dimanjakan oleh Tuhan," katanya.


"Kendati hanya bekerja sebagai seorang sopir, saya berjanji kalau sudah pensiun saya akan membangun rumah bagi orang-orang yang ingin menemukan sesuatu yang amat penting yang hilang dari hidup mereka, yakni iman."


Suparto menggunakan uang pesangon untuk membuka warung kecil yang menyediakan makanan, minuman, dan benda-benda rohani. Keuntungan hasil penjualan itu digunakan untuk membangun sebuah rumah bagi para peziarah. Beberapa peziarah memberi sejumlah uang untuk membayar "biaya listrik dan petugas kebersihan," katanya.
Ia mengutip Injil St. Yohanes tentang seorang buta yang disembuhkan oleh Yesus di Kolam Siloam.

"Saya berharap, rumah ini bisa menjadi tempat istirahat setelah para peziarah mencari dan menemukan kesembuhan jasmani maupun rohani di sendang ini," katanya, sambil merujuk pada Sendangsono.
Wisma Siloam telah melayani ratusan peziarah termasuk beberapa dari Amerika Serikat, Jepang, Kanada, Malaysia, Singapura, dan Thailand.