LANTARAN bisa bertahan
lebih dari tiga pekan di bioskop, akhirnya saya tertarik mau nonton
film buatan negeri sendiri. Selama ini, saya tak pernah nonton film anak
negeri lantaran sudah telanjur punya persepsi negative: alur ceritanya
sering menafikkan logika dan dialognya asal-asalan. Aslinya, film anak negeri ini bertitel Serbuan Maut. Namun kemudian diakomodasi untuk pasar internasional dengan label baru The Raid. Di pasar Amerika berubah menjadi The Raid: Redemption.
Tidak biasa
Ternyata, persepsi saya pribadi juga tak jauh menyimpang. Di luar action-nya yang menawan namun cenderung terlalu keras dan tak jarang juga sadis, The Raid
kurang memuaskan penonton karena alur ceritanya yang tidak “biasa”.
Sebuah operasi besar yang melibatkan pasukan elit anti narkoba
kepolisian kali ini hanya dikendalikan oleh seorang sersan bernama Jaka
(Joe Taslim). Itu pun dia menang wibawa terhadap seniornya Letnan
Wahyu (Pierre Gruno).
Terasa ganjil memang. Belum lagi,
pilihan yang tak masuk akal ketika dua kakak-adik berada pada posisi
saling “bermusuhan” namun dalam sekejap “rekonsiliasi” terjadi di markas
gembong narkoba. Adalah Rama (Iko Uwais) –anggota polisi elit—yang
dalam kondisi sekarat berhasil bertemu dan diselamatkan oleh kakak
kandungnya Andi (Donny Alamsyah) yang justru menjadi tangan kanan
gembong narkoba Tama Riyadi (Ray Sahetapy).
Bahkan ketika operasi berhasil dan kedok
kejahatan Letnan Wahyu terkuak, rasanya ganjil pula menyaksikan Rama
bergerak ke Timur (menuju markas kepolisian), sementara kakaknya Andi
menoleh ke Barat (kembali ke markas gembong narkoba) lantaran tidak ada
jaminan keselamatan.
Action-nya top abis
Soal citarasa dan persepsi penonton memang tak bisa diperdebatkan. Yang pasti, mereka yang suka film keras, The Raid
memang menjadi suguhan menarik. Utamanya, seni bela diri silat yang
dimainkan Rama dan Andi ketika harus melawan Mad Dog (Yayan Ruhian)
dalam duel hidup-mati antara “si baik” dan “si jahat”.
Belum lagi, aksi jungkir balik Rama
ketika sendirian melibas kelompok bandit narkoba ini dengan jurus silat.
Tangan kosong, tapi berhasil melumpuhkan sekawanan preman bersenjata
parang dan golok, sementara rekan sejawatnya dari kepolisian sudah
bergelimangan darah dicincang sadis kawanan preman narkoba ini.
Sekali lagi, sangat ganjil untuk sebuah
operasi dengan tingkat risiko tinggi, polisi malah bermain silat tangan
kosong melawan geng preman narkoba bersenjatakan parang dan senapan
mesin. Tidak ada amunisi lagi? Memang, tapi juga bisa mengambil senjata
dan amunisi yang ditinggalkan para penjahat itu daripada harus
membiarkan koleganya merenggang nyawa.
Menjual pencak silat
Rupanya, justru permainan silat inilah
yang membuat publik asing terpesona. Tak terkecuali sutradara Gareth
Evans yang sejak awal ingin mempopulerkan The Raid ke pentas nasional dengan menu jualan andalannya yakni pencak silat.
Jadi, memang bisa dimengerti mengapa
duel hidup-mati antara polisi dan preman gembong narkoba ini lebih
mengandalkan jurus-jurus silat daripada senapan serbu otomatik. Kalau
pun parang dan golok terpaksa digunakan, maka jurus silat Rama yang akan
melibasnya.
Di pentas internasional, The Raid
berhasil memboyong banyak penghargaan. Awalnya terjadi di Toronto
International Film Festival, ketika para kritikus film menyematkan
penghargaan The Raid sebagai film thriller action
Indonesia yang layak dipuji setelah bertahun-tahun vakum. Di pentas
Toronto ini, The Raid menyabet penghargaan The Cadillac People’s Choice
Midnight Madness Award (2011).
Berikutnya, The Raid juga
mendapat tempat naik layar pada Festival Film International Dublin
Jameson di Irlandia, Festival Film Glasgow di Skotlandia, Festival Film
Sundance di Utah (Amerika), di South by Southwest Film di Austin, Texas,
dan Festival Film Busan di Korsel.
Mereka yang suka nonton adu jotos dan film keras, The Raid
adalah suguhan enak. Namun mereka yang tidak tahan menyaksikan orang
dibantai dengan parang dan memilih tutup mata, maka saya adalah
contohnya.
Photo credit: Ist
No comments:
Post a Comment