SUDAH lebih dari 30
tahun lamanya, umat katolik Wilayah Sengon Kerep di wilayah perbatasan
Kabupaten Klaten dan Kabupaten Gunung Kidul selalu mendapatkan
pelayanan pastoral dari para pastur yang berkarya di Paroki Santa
Perawan Maria (SPM) Bunda Kristus di Wedi, Klaten Selatan. Sejak Paroki
Wedi dipegang oleh almarhum Romo Santo Seputra Pr bersama almarhum Romo
Tjokroatmadja Pr tahun 1970-an, nama Sengon Kerep selalu disebut dalam
pengumuman mingguan di Gereja menjelang berakhirnya ekaristi.
Intinya satu, ada hari-hari tertentu
dimana kedua Romo tersebut pergi melesat dari Pasturan Wedi ke arah
Selatan, lalu kemudian ke arah Timur dan kemudian mengikuti tanjakan
menuju kawasan Perbukitan Seribu. Mereka berdua datang melakukan
pelayanan rohani dan pastoral kepada umat katolik setempat.
Sengon Kerep waktu itu memang masih
“dunia antah berantah” untuk saya. Membayangkan lokasinya pun saya juga
belum sanggup, apalagi di tahun-tahun 1970-an sepeda motor masih amat
langka. Kedua pastur Paroki Wedi waktu itu yakni Romo Santo Seputra Pr
dan Tjokroatmadja Pr mau tak mau harus naik kuda besi zaman itu.
Setelah bertahun-tahun naik kuda besi made in Amerika, belakangan kedua pastur ini beralih ke kuda besi buatan Jepang: Honda 90 C dan Honda CB 100.
Pelayanan pastoral kepada umat di
Wilayah Sengon Kerep terus berlanjut dan dilakukan oleh Romo A. Hantoro
Pr, Romo Harjoyo Pr, Romo Murdisusanto Pr, Romo Y. Sukardi Pr, almarhum
Romo Priyambono Pr, Romo Saryanto, Romo Purwatma Pr, Romo Subagya Pr,
Romo Mantoro dan akhirnya sekarang Romo Bambang Triantoro Pr bersama
Romo Juned Pr.
Keheningan yang terusik
Secara geografis dan administratif
pemerintahan, Wilayah Sengon Kerep masuk wilayah Kabupaten Gunung
Kidul, DIY. Namun secara administratif gerejani, stasi yang bertengger
di kaki Perbukitan Gunung Seribu di Dusun Sampang, Kecamatan Gedangsari
ini malah termasuk wilayah pengelolaan Gereja Katolik Santa Perawan
Maria Bunda Kristus Wedi. Padahal, Kecamatan Wedi masuk wilayah
administratif Kabupaten Klaten.
Dusun Sengon Kerep yang selama ini
tenang, tiba-tiba saja Minggu (6/5) mendadak heboh . Itu terjadi
lantaran kehadiran ratusan orang dari berbagai elemen yang datang
“mampir” ke Sengon Kerep dengan maksud menyampaikan protes terhadap
proses pembangunan Gua Maria Wahyu IbuKu Giri Wening yang kini masih
berjalan. Intinya, suara kaum pemrotes itu bermuara pada pertanyaan
mengenai izin pendirian tempat ibadah alias IMB (Izin Mendirikan
Bangunan) dengan peruntukan rumah ibadah alias gereja.
Dirintis pembangunannya sejak 16
September tahun 2009, terbentuknya Gua Maria Wahyu IbuKu Giri Wening
yang berlokasi di Dusun Sengon Kerep, Kelurahan Sampang, Kecamatan
Gedangsari, Kab. Gunung Kidul dimulai dengan aksi babat alas.
Diawali dengan ide mulia dari kedua bersaudara Y. Suroyo dan R. Pambudi
–keduanya umat katolik lokal— proses babat alas itu dilakukan guna
menyiapkan misa perdana di lokasi.
Tanggal 6 November 2009 akhirnya
berlangsunglah misa perdana di lokasi gua dimana dua imam dari
Kongregasi Hati Kudus Yesus (SCJ) berkenan memimpin ekaristi. Mereka
adalah Romo YR Susanto SCJ dan Romo G. Zwaard SCJ.
Langkah kedua adalah mengganti patung
Bunda Maria yang semula hanya berdiri setinggi 30 cm dengan ukiran batu
setinggi 2 meter menempel pada batu besar seberat kurang lebih 3 ton.
Karena menempel kuat di jaringan bebatuan sesuai tekstur wilayah di
situ, kawasan perbukitan ini lantas akrab disebut Watu Gedhek.
Bunda Maria diukir di atas permukaan
batu sembari menggendong puteranya. “Tempatnya sunyi dan hening,” kata
Binuko, umat Stasi Gayamharjo Paroki Wedi kepada Sesawi.Net, Senin (7/5)
malam. (Bersambung)
Artikel terkait:
Protes Usik Keheningan Taman Maria Giri Wening di Sengon Kerep, Paroki Wedi (2)
Taman Maria Giri Wening Sengon Kerep, Paroki Wedi: Situasi Makin Kondusif (3)
Sejarah dan Lokasi Taman Maria Giri Wening Sengon Kerep Paroki Wedi (4)
No comments:
Post a Comment