Sunday 13 April 2008

Linke, Roh Maestro Tanztheater

Susanne Linke
Energi Tari Jerman

LEBIH daripada 20 menit dari sekitar satu jam percakapan, hanya Pina Bausch yang ia bicarakan. Tampaknya dunia tari Jerman tidak bisa menghindar dari tokoh tersebut. "Pina memberi dimensi baru untuk mengungkapkan 'dunia dalam' manusia," kata Susanne Linke dengan bersemangat.

Padahal Susanne Linke juga pemuka di kalangan teater tari, bukan hanya di negerinya saja tapi mengimbas juga ke berbagai negeri Eropa. Ia termasuk pembaharu tari yang dirintis oleh Johann Kresnik di Bremen, Gerhard Bohner di Darmstadt, dan Pina Bausch di Essen. Ia sempat bekerja dengan Pina pada pertengahan tahun 1974 ketika "semangat pemberontakan" tari tengah marak, dan ikut tersulut.

Para koreografer muda ketika itu menagih bagian mereka dalam perubahan budaya yang melanda Jerman. Mereka menawarkan bentuk teater tari (tanztheater) yang secara tematis meninggalkan tradisi dongeng dalam balet klasik dan memasukkan gagasan serta pandangan baru yang antara lain bersumber dari kehidupan sosial budaya. Bentuk ungkapannya mengadopsi elemen-elemen dunia seni lain seperti film, pantomim, musik baru, teater kata-kata, sambil mencari bahasa gerak baru yang bisa berupa olahan dari tari klasik maupun temuan sendiri.

Jejak semangat pembaruan itu muncul dalam pementasan Susanne Linke bersama kelompok Bremer Tanztheater yang dipimpinnya, yang mulai melangkah ke Asia. Di Jakarta awal Oktober lalu grup teater tari itu tampil dalam rangka Art Summit Indonesia II/1998, disusul dengan penampilan mereka di Seoul, Korea Selatan.

Panggung Gedung Kesenian Jakarta ia penuhi dengan tontonan yang mengesankan, paduan antara kecendekiaan dan kepekaan artistik. Kecendekiaan itu tercermin dari respons Linke pada masalah-masalah mendasar yang umumnya dicapai seniman lewat olah seni, dan kelebihan Linke adalah kemampuannya mengambil jarak dan membuat abstraksi. Kepekaan artistiknya tampak dari pilihan geraknya yang tetap terasa indah walau banyak diambil dari gerak sehari-hari, juga dari pilihan musiknya yang kuat, dan unsur rupa seperti kain yang penting sebagai sajian visual sekaligus menjadi bahasa ungkap yang kena.

Paduan kedua unsur itu muncul antara lain dalam karyanya Frauenballet, yang dengan jernih menunjukkan pandangannya sebagai perempuan terhadap nasib kaumnya di dalam peradaban yang dikuasai pria. Mereka para perempuan perkasa, ditampilkan lewat wilayah domestik: gerak seperti mencuci kain, membanting, menggulung, dan seterusnya. Para pria ditampilkan sebagai "pengganggu", "tak berperasaan", pokoknya yang serba negatif.
***

Menurut Susanne Linke, di samping energi, yang juga penting adalah kualitas gerak. Kualitas gerak bersumber pada energi, tidak dari bentuk, meski dalam arti tertentu termasuk bagian dari bentuk. "Saya yakin sekali, kesenian yang baik harus berurusan dengan energi, bukan sekadar bentuk. Memang saya tahu selalu ada saja yangmencipta tari dengan cara mengkopi atau membuat tiruan dari bentuk-bentuk tari yang merangsangnya. Saya tidak demikian. Urusan saya pertama-tama adalah energi," kata Linke.

Untuk mengetahui bahwa seseorang sudah "benar" jalannya dengan mengutamakan adanya energi, Linke mengamatinya dari kemampuan orang ketika mengekspresikan diri. Ia membiarkan para penari melakukan berbagai gerakan spontan, dan ketika muncul puncak-puncak emosi, ia tahu apakah yang bersangkutan cukup menyimpan energi yang dibutuhkan. "Ditta Miranda salah seorang yang punya energi besar," tuturnya, menyebut nama penari asal Indonesia yang empat tahun terakhir bergabung dengan grup Bremer yang dipimpinnya.
***
KEYAKINANNYA akan energi yang ia sebut menggerakkan apa pun di dunia ini bahkan terkesan lebih jauh. Katanya manusia serba terbatas sementara energi menyangkut hal-hal yang sangat besar. Energi memang tidak tampak, dan bentuk-bentuk visual tampak. "Saya yakin, yang tidak tampak namun bisa dirasakan itu selalu lebih besar dan lebih kuat dibanding yang kelihatan," katanya.

Apakah dengan demikian bentuk menjadi kurang penting, Susanne Linke sudah menjawabnya lewat pementasannya di Jakarta. Sebagaimana kelompok-kelompok tanztheater, kelompok Susanne Linke tidak lagi menggunakan estetika tari modern maupun ballet klasik. Keindahan bentuk mereka tak lagi bertumpu pada gerak gemulai yang ringan melayang-layang, tapi terkadang patah-patah, berat, atau keras, dan banyak mengambil gerak sehari-hari.

Bukan berarti kelompok Bremer Tanztheater itu tidak berlatih tarian klasik seperti ballet. "Saya merasakan betapa tak mudahnya latihan-latihan itu ...bagaimana berdiri kukuh dengan tumpuan jempol kaki," kata Susanne Linke sambil memperagakan gerakan-gerakan dimaksud. "Saya memerlukan waktu 10 tahun untuk membentuk tubuh saya hingga 'jadi' seperti layaknya ballerina. Karena itu terus terang saya mengagumi para penari Bali yang kukuh dalam (mengelola) energi."

Ia mengaku berlatih ballet setiap hari untuk menjaga stamina tubuhnya. Untuk mempertajam kesadaran akan energi, ia berlatih menangani emosi dalam kaitan dengan tubuh. "Katakanlah, melatih diri agar mampu 'berbicara' akrab dengan raga kita sendiri, itulah filosofi tarian energi saya dengan memaksimalkan apa yang saya sebut 'mata hati' tubuh, yakni di bagian perut, punggung, dan mata," tambahnya.
***

SUSANNE Linke dikenal luas sebagai penari solo paling penting di Jerman pada tahun 1970-an dan 1980-an. Selain bekerja bersama Pina Bausch di Jerman tahun 1970-1973, ia pernah menari untuk Dans Centerdi Rotterdam, Belanda, tahun 1973-1974, dan reputasinya menyebar keseluruh benua. Tahun 1981 ia mulai mengadakan pertunjukan keliling sebagai penari tunggal. Kritikus tari Jochen Schmidt menyebutnya sebagai salah satu penari solo yang tak tertandingi baik di Eropa maupun di benua lain. Padahal ia mengaku 'terlambat' dalam belajar menari. "Waktu kecil saya belajar gimnastik, dan baru mulai belajar menari ketika umur 20 tahun," tutur Linke, yang belajar pada Mary Wigman tahun 1964-1967, kemudian kuliah tari di Sekolah Tinggi Folkwang di Essen, Jerman, tahun 1967-1970.

Perhatiannya pada koreografi mendorongya untuk mencipta sendiri pada tahun 1972. Namun ia enggan menyebut seperti apa karyanya yang pertama. Katanya, "Ciptaan itu selalu tumbuh, sehingga tidak relevan membicarakan karya pertama seperti itu."

Tahun 1975 barulah ia sempat belajar koreografi secara khusus di Sekolah Tinggi Folkwang. Pada tahun itu juga ia memenangi lomba koreografi internasional ke-7 di Koln, juara ke-2 pada Festival de Paris, dan juara ke-3 pada lomba koreografi Ballet pour Demain. Sesudah itu ia banyak menggarap tarinya sendiri, dan menemukan bentuk-bentuk ungkapan yang ia butuhkan. Ia bahkan mengisi pesanan koreografi untuk antara lain Jose Limon Dance Company di New York, Opera Perancis, dan Nederlands Dans Theater di Belanda.
***
WANITA yang ramah ini tak membayangkan mendapat kesempatan sehebat ini mengingat masa kecilnya sulit berbicara karena gangguan meningitis. Ia baru belajar berbicara pada usia 12 tahun. Kenangnya, "Praktis gerak tubuh sangat menolong dalam berkomunikasi." Susanne Linke mengaku berbahagia dengan jalan hidupnya ini.

"Saya tak menikah, dan tidak punya anak, tapi saya berbahagia," katanya, tetap dengan wajah berseri. Tambahnya, "Anak saya sudah banyak, itu mereka, bandel-bandel seperti Ditta Miranda." (Mathias Hariyadi)

Photo credit: Susanne Linke, Kompas/Mathias Hariyadi
Published by Kompas, Friday 23 October 1998
Halaman: 12
Penulis: HARIYADI, MATHIAS

No comments: