Sunday 13 April 2008

Sorot Mata Schlomer

Joachim Schlomer Menari dengan Mata

MENYEBUT tanztheater (teater tari) Jerman, orang pasti tak bisa melupakan Pina Bausch, tokoh penting dalam gerakan tari modern Jerman. Bausch memahami tanztheater lebih sebagai "filosofi" sikap (menari) daripada sebuah gaya tari. Sebuah filosofi tari yang belakangan terungkap jelas, ketika Bausch mengatakan, "Saya lebih tertarik dengan roh yangm menggerakkan orang hingga ia mau menari dibandingkan caranya menari."

Ucapan inilah yang hingga kini jadi semacam "mantera" lagi para penerus gerakan tanztheater seperti Susanne Linke (61) dan Joachim Schlomer (37)-dua nama penting lain dalam tanztheater Jerman. Dan elan vital itu oleh Bausch disebut sebagai "roh". Linke membahasakannya dengan istilah "energi". Sementara Schlomer menyebutnya dengan istilah "kesadaran" yang selalu alert (waspada).

Bagi Schlomer, sorot mata menjadi ukuran paling jelas untuk mengukur sejauh mana seorang penari punya kekuatan "kesadaran yang selalu waspada" itu. "Seluruh pantulan jiwa atau semangat bisa terpancar lewat (sorotan) mata. Hal-hal yang menyangkut teknik (menari) menjadi urusan belakangan," ungkapnya di Jakarta, Sabtu (24/7) petang.

Karena itu, Schlömer tak terlalu banyak peduli pada kemampuan atau kelebihan fisik penari seperti teknik melompat, berputar-singkatnya postur tubuh yang hebat. Ia lebih mengutamakan "kekuatan jiwa" seperti yang bisa terpantul dari sorot mata penari.

Itulah sebabnya dalam kolaborasinya dengan Gusmiati Suid lewat Face to Face di Gedung Kesenian Jakarta 23-25 Juli lalu, Schlomer memandang penting perlunya terlebih dahulu mengolah "kekuatan jiwa" kelima penarinya. Dan kalau silat Minang menjadi pilihannya, itu tak
lain karena silat tradisional-seperti kata Gusmiati Suid-lebih merupakan olah jiwa yang mempertajam kesadaran daripada seni bela diri. "Saya memahami pencak silat Minang lebih sebagai tari kesadaran daripada gerak-gerik tubuh untuk keperluan bela diri," ujar pencipta koreografi Stadt-Land-Flusse (Kota-Tanah-Sungai).
***

Seperti kata kritikus tari Jochen Schmidt dalam pengantar buku German Tanztheater Today: Thirty Years of German Dance History, Schlomer banyak mengambil manfaat sebesar-besarnya dari alam kebebasan itu.

Pertemuannya dengan koreografer Mark Morris dari AS di Brussel (Belgia) membuatnya semakin yakin dengan adagium filosofi tari Bausch. Semangat atau jiwa utama (elan vital), bagi Bausch dianggap jauh lebih penting daripada teknik. Karena itu, ungkap Schimdt, Schlomer pun
tetap memelihara sikap dan pandangan "liarnya" setiap kali mencipta koreografi baru. Pendiriannya jelas, ia tak mau mengikuti sebuah gaya tari tertentu.

Sepanjang belajar di Folkwang, pria berpenampilan kalem ini berhasil mencipta Ritual (1984), Vierklag (1985), Variante N 4 (1986), Mauser (1987), Weg (1988). Selama periode itu, ia ikut mendukung pergelaran Le sacre du printemps yang dikerjakan Teater Wuppertal pimpinan Bausch. Berikutnya, ia bergabung dengan grup tari Morris Monnaie pada Theatre de la Monnaie di Brussel.

Tahun 1988 untuk pertama kalinya Schlomer membentuk grup tari sendiri yakni Company Josh yang didukung penata panggung dan kostum Frank Leimbach.

Periode selanjutnya, ia menjadi direktur balet pada Civic Theatre di kota Ulm (1991-1994). Di tengah ini, ia membuat dua koreografi untuk pagelaran kolaborasi arahan maestro balet dunia, Mikhail Baryshnikov, dalam White Oak Dance Project. Karyanya pertama, Behind White Lilies, dipentaskan secara perdana di New York (AS) Maret 1994; sementara koreografinya kedua, Blue Heron, dipentaskan di Milano (Italia) sebulan kemudian.

Kemampuan Schlömer sebagai koreografer makin teruji, sejak ia mengambil alih pimpinan teater tari Deutsche National Theater Weimar yang baru saja didirikan. Bersama anggota grup ini, ia mencipta antara lain Und in der Ferne die Nacht, Kraanerg, Hochland oder der Nachhall der Steine, dan Hamlet I, II, III.

Namun puncak karier Schlomer sebagai koreografer tari terkemuka tanztheater Jerman baru terjadi, ketika mulai tahun 1996 ia memimpin Basel Tanztheater (Swiss) sebagai direktur. Dari sini lahirlah sejumlah karyanya antara lain Herbst, Orfeo ed Euridice, Die Weise von Liebe und Tod des Cornets Christoph Rilke, dan Lissabon Projekt yang dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta, akhir November tahun lalu.


Puaskah Schlömer dengan kolaborasinya bersama Gusmiati Suid dan Boi G Sakti dari Gumarang Sakti Dance Company asal Depok, Bogor (Jawa Barat)? "Saya sangat puas dan berharap kerja sama ini bisa terulang kembali," jawabnya mantap.

Bahwa akhirnya Face to Face akan dibawa Schlomer untuk naik pentas keliling Eropa sudah barang tentu memperkuat alasan jawaban itu. Namun ia juga menyebutkan, pentas tiga hari Face to Face di GKJ akhir pekan lalu itu secara tak langsung telah mengobati kerinduannya yang teramat dalam untuk bisa tampil menghibur warga Jakarta. Seperti diketahui, pagelaran Lisbon Project: A Fish in the Jacket di GKJ 21-22 November 1997 lalu terpaksa dihentikan secara mendadak, karena Jakarta tiba-tiba diguncang aksi kerusuhan Jl Ketapang yang memaksa pentas hari kedua dibatalkan.

Waktu itu, sebagai pemimpin rombongan Basel Tanztheater (Swiss) Schlomer memutuskan tak mau mengambil risiko apa pun berkaitan dengan aksi kerusuhan sosial yang terjadi tak jauh dari kompleks gedung GKJ. Ia mengaku sedih terpaksa membatalkan pentasnya karena kerusuhan itu. Oleh sebab itu, pagelaran Face to Face beberapa hari lalu itu ibarat kesempatan emas baginya untuk bisa "menebus" kembali "utangnya" kepada masyarakat Jakarta penggemar tanztheater Jerman.
***

KISAH kolaborasi Schlömer-Gusmiati Suid berawal dari pertemuan mereka secara kebetulan saat acara Art Summit Indonesia I di Jakarta, September 1995. Usai mementaskan koreografinya Hochland oder Der Nachhall der Steine pada pesta kesenian bertaraf internasional itu, persahabatan Schlomer-Gusmiati Suid makin kukuh dengan diadakannya sebuah lokakarya tentang tari selama seminggu di Depok, "markas besarnya" Gumarang Sakti Dance Company.

Namun secara jujur, Schlomer menyebutkan pertemuan itu bukan menjadi alasan utama mengapa ia sampai tertarik untuk membina kerja sama seni dengan Gusmiati Suid.

"Ketertarikan saya hingga akhirnya memutuskan untuk mengajak bekerja sama grup tari Gumarang Sakti, karena seni pencak silat tradisionalnya yang begitu indah. Selebihnya adalah karena kepribadian Ibu Gusmiati Suid yang terbuka dan keramahannya yang tulus," ungkap koreografer penerima sejumlah penghargaan dari pemerintah Jerman ini.

Baginya, silat Minang adalah soal olah jiwa untuk mempertajam kesadaran orang akan dirinya sendiri, lingkungan, dan sesama. Dan kekuatan itu akan terpancar jelas lewat sorot mata.

"Jadi, kalau saya telah memaksa diri dan kelima penari saya harus latihan silat tradisi Minang secara serius, hal itu pertama-tama karena kami ingin mengasah kekuatan sorotan mata. Soalnya, saya ingin mereka bisa menari dengan mata," tandas koreografer "generasi
ketiga" tanztheater Jerman ini. (Mathias Hariyadi)

Foto: Karya Joachim Schlomer
Kompas/Mathias Hariyadi
KOMPAS - Kamis, 29 Jul 1999
Halaman: 12

Penulis: HARIYADI MATHIAS
Ukuran: 7880

No comments: