Sunday 13 April 2008

Jose Saramago, Nobel Sastra 1998

Jose Saramago, Nobel Pelurus Sejarah

INGIN meluruskan sejarah dari bias-bias kepentingan politik penguasa. Itulah perjuangan serius novelis-penyair Portugal, Jose Saramago (76), pemenang Nobel Sastra 1998. Menurut Komite Nobel Swedia, karya-karya Saramago tak lepas dari ambisi mempersoalkan distorsi penulisan sejarah bangsanya.

Juri berpendapat, Saramago adalah penulis hebat sekaligus mengagumkan karena novel-novelnya selalu kaya metafor-metafor yang selalu menyuguhkan fantasi, bela rasa, dan paparan data penuh ironi. "Semua itu menggiring para pembaca sampai pada kesadaran kritisnya hingga kita bisa tahu wujud bias-bias sejarah," kata Komite Nobel.
***
JUJUR memperlakukan sejarah dan kritis mempersoalkan isu-isu sensitif yang menurut ukuran moralitas sudah bobrok, adalah sikap dasar Saramago. Lewat Terra do Pecado (Negeri Penuh Dosa), novelnya yang pertama terbitan tahun 1947, sikap itu mengemuka jelas ketika Saramago berkisah tentang kehidupan para petani Portugal di tengah badai krisis moral. Sayangnya, pasar kurang bergairah menyambut novelnya.

Kasus berbeda terjadi 35 tahun kemudian, ketika terbit novel satir terbaru Saramago, Memorial do Convento (Kenangan tentang Biara, 1982), yang segera diperbincangkan oleh masyarakat pecinta sastra. Dari filosofi sama dan ambisi memaparkan fakta sejarah secara hitam-putih, termasuk isu-isu sensitif menyangkut moralitas masyarakat Portugal era abad ke-18, berkisahlah Saramago tentang dampak negatif akibat proses pembangunan kompleks Biara Mafra di luar Lisabon.

Namun bukan itu persoalan pentingnya. Lebih krusial lagi dan sangat mengetuk nurani Saramago adalah peristiwa "tergusurnya" Baltasar dan Blimunda, dua tokoh sentral novelnya. Soalnya, kedua orang itu terpaksa "mengungsi" ke angkasa luar menyelamatkan diri dari kejaran Inkuisisi, lembaga pengadilan gereja yang terkenal kekejamannya era abad 15-19 karena sepak-terjangnya mengejar dan menghukum sewenang-wenang mereka yang terlibat kasus penyelewengan ajaran iman Kristen.

Edisi Inggrisnya terbit dengan judul lain yakni Baltasar and Blimunda. Namun yang pasti, novel itu telah menginspirasi komponis Italia, Corghi, hingga menggarap sebuah repertoar opera berjudul sama dan sukses dipentaskan di Teater La Scala tahun 1990.

"Atmosfer yang dibangun pengarang berkat daya fantasinya sungguh kaya. Lebih daripada itu, naskahnya pun multifaced hingga sekali gebrak novel itu langsung memancarkan perspektif beragam, mulai dari aspek historik, sosial, dan personal," kata Komite Nobel tentang Memorial do Convento di harian International Herald Tribune (9/10).

Komentar Federico Fellini, sutradara film asal Italia, tak jauh dari itu. Kekagumannya atas Saramago rasanya tak pernah selesai. "Bukunya termasuk salah satu novel terbaik yang pernah saya baca," ungkapnya seperti dikutip Reuters pekan lalu.

Jejak ambisi Saramago dalam kegigihannya terus membongkar kebobrokan moral elite penguasa Portugal berupa distorsi penulisan sejarah demi kepentingan politik sangat mengemuka di novel O Ano da Morte de Ricardo Reis (Tahun Matinya Ricardo Reis) terbitan tahun 1984. Lewat gaya penulisan yang kritis dan sesekali berbentuk dialog imajiner antara Fernando Pessoa, penyair besar Portugal (1888-1935), dan seorang tokoh "rekaan" lain yakni Ricardo Reis (sesuai judul buku kumpulan puisinya Odes de Ricardo Reis, 1946), ia mengkritik pemerintahan totaliter rezim diktator Antonio Salazar. Belakangan, tokoh yang dikritiknya itu harus lengser keprabon tahun 1974 karena tekanan militer.

"Sebuah novel luar biasa yang kaya dengan makna simbolik dan pancaran meditatifnya," kritikus sastra Herbert Mitgang di The New York Times pekan lalu.
***

Bahkan, O Evangelho Segundo Jesus Christo dianggap sebagaisalah satu novelnya yang paling kontroversial hingga membuat parapetinggi Vatikan berang. "Saramago adalah antek komunis dan ateis," komentar editorial koran resmi Vatikan L'Obsservatore Romano mengecam keputusan Komite Nobel Swedia.

Tak kurang, pemerintah Portugal pun bereaksi sama. Ketika juri memutuskan memasukkan novel kontroversial itu menjadi satu-satunya buku yang layak dinominasikan menjadi pemenang Hadiah Sastra Eropa Tahun 1992, kontan pemerintahan konservatif Portugal menyebut keputusan itu sebagai "penghinaan" terhadap Tuhan. Sadar karyanya telah mengundang kontroversi hebat di Tanah Airnya, maka segera menyingkirlah Saramago meninggalkan pekerjaan di Lisabon dan pergi mengungsi di Lanzarotte, Kepulauan Canary (Spanyol), tempatnya menetap hingga kini.
***
KOMITE Nobel mengakui kehebatan Saramago. Menurut juri, kehebatan novelis Portugal ini terletak antara lain pada kemampuannya yang istimewa dalam mengembangkan teknik dan gaya penulisan sastra bergaya magic realism dengan phantasmagoria (memindahkan setting dunia alam mimpi ke realitas sehari-hari sebagai metafor guna bisa lebih menghidupkan deskripsi situasi).

Sebagai sebuah fenomena ragam penulisan, magic realism memang tumbuh subur di lingkungan masyarakat yang mengalami banyak gejolak sosial. Ketika para penulis merasa diri sudah tak mampu lagi menemukan kata-kata atau kalimat yang pas untuk mengungkapkan peristiwa-peristiwa yang menyangkut harga diri manusia karena sulit dilukiskan dengan "bahasa sehari-hari", di situlah magic realism menjadi pilihannya.

Dengan teknik penulisan bergaya magic realism itu pula, Saramago berhasil mengawinkan ragam bahasa canggih yang canggih dan unsur-unsur surealisme hingga mampu menggambarkan fenomena sosial yang ingin dipotretnya: bias-bias sejarah bangsanya akibat ulah elite penguasa.

Seperti Gabriel Garcia Marquez, novelis Colombia dan pemenang Nobel Sastra 1982, Saramago pun berhasil memadukan fantasi dan gambaran realitas sosial. Namun persenyawaan ini bukan lagi sekadar metode atau teknik penulisan sastra. Itu sudah menjadi cerminan realitas sosial. Dan magic realism berhasil membantunya hingga bisa menemukan "format" penulisan yang pas untuk menggambarkan secara mendetail fenomena ketidakadilan sosial, kemiskinan struktural, dan praktek penindasan oleh elite penguasa Portugal. Termasuk upaya membelokkan perjalanan sejarah.

Historia do Cerco de Lisboa (Sejarah Pengepungan Lisbon), sebuah novel tentang novel terbitan tahun 1977, adalah contohnya. Hanya karena tambahan kata "tidak" -begitu inti cerita novel ini-seorang korektor nyentrik sebuah penerbitan buku berhasil "membelokkan" sejarah Portugal.



"Korektor itu mengakui, pahlawan-pahlawan Perang Salib nyatanya tidak berperan apa-apa dalam upaya membebaskan Lisabon dari pendudukan bangsa Moor pada abad ke-12," ujar kritikus Edmund White di The New York Times pekan lalu.



KEMANUSIAAN dan kejujuran memperlakukan sejarah, memang menjadi minat Saramago setiap kali menulis novel. "Kata dan kalimat memang bisa memperdaya kita hingga membuat
kita buta," ujar Saramago, penulis novel Blindness (1995) dan Todos Os Nomes (Semua Nama, 1997) bersemangat.

Lahir 16 November 1922 di Azinhaga, sebuah permukiman sederhana di luar Lisabon, sejak kecil Saramago sudah mengakrabi kemiskinan dalam arti sebenarnya. Kondisi finansial keluarganya tak memberi peluang kepada pria botak berkacamata tebal ini bisa meneruskan sekolahnya di perguruan tinggi.

Alih-alih sekolah, Saramago lalu bekerja. Mula-mula menjadi makelar mobil, tukang las, korektor dan editor buku di sebuah perusahaan penerbitan. Belakangan ayah seorang putri bernama Violante Matos ini beralih profesi dengan menjadi wartawan, penerjemah, komentator politik di harian Diario de Lisboa, editor koran Diario de Noticidas, dan tentunya penulis seperti yang menjadi cita-citanya sejak kecil. (Mathias Hariyadi)



Foto: Jose Saramago
Associated Press
Published by Kompas, Saturday 24 Oct ober 1998
Halaman: 12
Penulis: HARIYADI, MATHIAS
Ukuran: 8473

No comments: