Wednesday 21 January 2009

Mengenal Ismail Marzuki alias Bang Ma'ing

NAMA besar komponis Ismail Marzuki setenar seperti sekian ratus lagu ciptaannya, mulai dari jenis seriosa, keroncong, stambul, mambo, rumba, tango, hingga mars.

Lewat tembang-tembang semisal Sepasang Mata Bola, Lambaian Bunga, Aryati, Kopral Jono, Jangan Ditanya Kemana 'Kupergi, dan Als De Orchideen Bloeen inilah, nama besar Bang Ma'ing atau Pak Mail-begitu Ismail Marzuki biasa dipanggil-tetap berkibar sampai sekarang dan tak pernah lapuk dimakan usia.

Rasanya tak ada cara lain yang lebih mengesankan untuk mengenang jasa dan reputasi Bang Ma'ing selain memperdengarkan kembali lagu-lagunya dan mengemasnya dalam sebuah paket acara hiburan. Lembaga Kebudayaan Betawi melakukan itu lewat acara "Mengenang Ismail Marzuki" di Hotel Indonesia Jakarta, Jumat (28/7) malam lalu.

Begitu tembang-tembang Bang Ma'ing didendangkan dalam sebuah orkestrasi musik yang menawan oleh kelompok gabungan Schenzo Ensemble dan Sanggar Ratnasari, secara spontan jari-jemari janda Bang Ma'ing, yakni Ny Eulis Zuraidah pun mulai ikut menari. Ia seakan ingin mengikuti hentakan irama orkes gambang kromong dan ensambel yang tengah melantunkan nada-nada musik karya suaminya. Meski tengah tergolek lemah di atas sebuah kursi roda, namun dari sinar matanya yang begitu berbinar-binar, tampak jelas bagaimana janda mendiang Bang Ma'ing hanyut dalam buaian lagu-lagu karya suaminya.

***

YANG pasti, masyarakat mengenal nama Ismail Marzuki tak hanya sekadar sebagai seorang komponis besar. Lebih dari itu, putra Betawi asli kelahiran Kwitang 11 Mei 1914 ini juga seorang pejuang nasional. Mogok dan tidak mau bekerja pada Belanda atau NICA adalah pilihan terbaik yang pernah dilakukan Bang Ma'ing. Itu ia lakukan ketika Belanda dengan membonceng tentara Sekutu ingin kembali menguasai Indonesia dan mengganti RRI (Radio Republik Indonesia) menjadi NORI (Radio Omroep in Overgangstijd).

Saat mogok kerja itulah, Ny Eulis Zuraidah lalu menghidupi keluarganya dengan berjualan gado-gado, mi goreng, dan asinan. Utusan NICA yang ingin membujuk Bang Ma'ing agar bersedia kembali dengan iming-iming gaji besar dan sebuah mobil rupanya tak membuat komponis-pejuang besar ini luluh. Kalau pun akhirnya Bang Ma'ing sampai menyerah, itu terjadi 25 Mei 1958 ketika komponis-pejuang ini memberikan nyawanya kepada Yang Khalik pada usia 44 tahun setelah lama menderita sakit paru-paru.

Mengenang nama besar, reputasi hebat, dan kegigihan Bang Ma'ing inilah yang hendak diperingati bersama pada acara "Mengenang Ismail Marzuki" ini. Selain kelompok koor Kompas Swara dari harian Kompas, para partisipan yang memeriahkan pentas ini adalah Mang Udel alias Drs Poernomo, Lilis Surjani, Sundari Sukotjo, Julia Yasmin, dan Ebed Kadarusman.

Mang Udel mengawali pentasnya dengan baik sekali. Lewat Halo Ibu, penyanyi gaek yang piawai memainkan instrumen okulele ini mampu membuai penonton. Belakangan penyanyi sepuh ini juga melantunkan Als De Orchideen Bloeen-sebuah lagu yang disebut-sebut menjadi salah satu masterpiece Bang Ma'ing selain tentu saja Halo-halo Bandung, Gugur Bunga, dan Rayuan Pulau Kelapa.

"Banyak orang tak tahu, Halo Ibu adalah karya Bang Ma'ing. Saya menyanyikan lagu ini supaya orang tahu itu, karena selama ini pencipta lagu itu sering kali dikatakan anonim alias tak diketahui lagi," kata Mang Udel di balik layar.

Para pengisi acara itu-masing-masing dengan gaya dan caranya sendiri-tampaknya berhasil menjadikan pentas "Mengenang Ismail Marzuki" sebagai forum tak hanya sekadar untuk membangkitkan memori indah akan Bang Ma'ing. Pentas sederhana yang dihadiri Menteri Negara Pariwisata dan Kesenian H Hidajat Djaelani, Ny Rini Sutiyoso, Ketua Umum LKB Hj Emma Agus Bisrie, dan Abdullah Ali (mantan Dirut BCA dan pendiri LKB) juga berhasil mengumpulkan dana tak kurang Rp 10 juta untuk membantu proses pengobatan janda Bang Mail. (Mathias Hariyadi)

No comments: