Monday, 14 April 2008

Wayang Orang Gagrak Djokdja

S Kardjono, Pedagogi Menari dan "Nembang"

DENGAN banyak menari di berbagai panggung, baik di dalam negeri maupun luar negeri, tanpa terasa penari dan koreografer S Kardjono (60) telah mempopulerkan kekayaan tradisi seni tari Jawa klasik gaya Yogyakarta berikut tradisi seni suaranya yakni nembang. Pementasan Drama Tari Golek Menak Kelaswara Senapati -demikian judul koreografi terbaru S Kardjono ini- di panggung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pertengahan bulan September lalu ikut membuktikan itu.

Dari keseluruhan antawecana (dialog) dalam pergelaran tari sepanjang hampir 90 menit ini, tujuh puluh persen di antaranya secara menawan mampu dibawakan oleh para penarinya dengan cara nembang. Lebih menarik lagi, ternyata banyak penari pendukung pergelaran Kelaswara Senapati ini mengaku sudah tidak tahu lagi atau bahkan sama sekali asing dengan bahasa Jawa.

Theresia Maria Sulistyowati (16), siswi kelas II SMU St Ursula Jakarta dan pemeran tokoh Thersianah dalam pergelaran ini, sampai mengatakan: "Pokoknya asyik aja bisa menari sembari nembang. Padahal sehari-hari saya hanya bisa omong bahasa Indonesia, hanya satu-dua kata bahasa Jawa saya ketahui."

"Dari waktu lima bulan lamanya untuk mempersiapkan pementasan ini, dua bulan lebih habis saya gunakan untuk melatih kemampuan vokal para penarinya. Yang membuat saya semakin bersemangat, di luar dugaan banyak penari muda asal Jakarta dan tidak berasal dari latar belakang budaya Jawa justru menaruh minat besar terhadap tradisi nembang ini," ungkap S Kardjono di Jakarta akhir pekan lalu.

Jauh ke belakang, rupanya ambisi S Kardjono mempopulerkan tetembangan itu muncul begitu saja ketika di tahun 1990 silam ia menyaksikan se-kelompok orang asing di Avignon (Perancis) tampak bersemangat minta kepadanya agar diajari nembang.

"Itu terjadi di tengah acara Festival Ramayana di Avignon dan setahun kemudian terjadi lagi di Sidney Opera Theatre ketika saya mengadakan pelatihan tentang tari, tembang, dan karawitan. Sementara banyak orang asing mulai menyukai tembang-tembang Jawa dan dengan nada merengek-rengek minta diajari nembang, masak orang kita sendiri tak tertarik ingin mempelajarinya?" ungkap S Kardjono yang sejak umur lima tahun telah mengakrabi dunia tari Jawa klasik gaya Yogyakarta dan tradisi nembang ini.

Tak heran demi pergelaran Kelaswara Senapati yang didominasi dengan tetembangan ini, S Kardjono rela menghabiskan separuh waktu persiapan yang tersedia hanya khusus untuk melatih nembang bagi sekalian para penari pendukung pementasan itu.

"Pertama-tama saya menekankan agar para penari saya terlebih dahulu harus mau belajar nembang (menyanyi) secara benar, baru kemudian diajari tembangane (nyanyiannya). Prinsip sama juga berlaku dalam tarian, yakni orang harus mau belajar terlebih dahulu bagaimana bisa menari dengan benar alias ajar njoget (belajar menari) untuk kemudian baru bisa belajar bagaimana membawakan tarian itu secara baik dan berkualitas alias ajar jogetane (belajar tariannya)," katanya bicara soal pedagogi mengajar banyak anak muda Ibu Kota yang menyukai tari Jawa klasik gaya Yogyakarta berikut tradisi seni suaranya.
***
TARI-menari dan tetembangan rupanya sudah menjadi dunia keseharian S Kardjono sejak menghabiskan masa kanak-kanaknya di nDalem Wirogunan, Yogyakarta. "Lingkungan sekitar rumah secara tak langsung telah ikut membentuk saya hingga sejak usia dini mulai menggemari tarian Jawa klasik gaya Yogyakarta dan sekalian tetembangan-nya," ungkap kakek dua cucu kelahiran Brontokusuman, Wetan Beteng, Yogyakarta, 30 September 1940 ini.

Dari semula belajar menari dengan pamannya sendiri yakni KRT Djojowinoto --seorang penari Kraton pemeran tokoh Ontorejo era pemerintahan Hamengku Buwono VII-- akhirnya sejak tahun 1950 S Kardjono resmi menimba ilmu tari di Perkumpulan Kesenian Tari dan Karawitan Krida Beksa Wirama Yogyakarta.

"Dua guru saya waktu itu adalah mendiang Basuki Kuswaraga dan Gusti Pangeran Haryo Tedjokoesoema. Setahun kemudian, inilah penampilan saya pertama kali di depan publik sebagai penari di Pura Mangkunegaran Surakarta saat berlangsung perkawinan agung GRA Nurul dengan Letkol Suryo Surarso," ungkap penari Istana Yogyakarta kurun tahun 1955-1959 ini.

Kematangan S Kardjono sebagai koreografer teruji ketika fragmen tarinya Mendut Pranacitra dan Klono Panca Tunggal mampu memukau publik-termasuk Presiden Soekarno-yang di tahun 1964 menghadiri Kongres Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi) di Kepatihan Yogyakarta. "Waktu itu hati saya senang sekali..." kenang peraih juara pertama lomba nyanyi seriosa antarpelajar se-DIY tahun 1960 silam yang kini sering diminta nyanyi dan menarikan cucuk lampah (penari yang bergerak paling depan diiring iringan pengantin) di banyak upacara pernikahan ini.

Di Yogyakarta dan selama kurun waktu itu pula ia sering ikut tampil di berbagai forum nasional dan internasional, sebelum akhirnya mulai tahun 1968 hijrah ke Jakarta. Setahun kemudian dan seiring dimulainya kegiatan di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, dia mulai aktif menggiatkan kegiatan seni tari bersama sejumlah seniman tangguh yakni Sardono W Kusumo, Sentot Sudiarto, Farida Oetojo, I Wayan Diya, Huriah Adam (alm), dan Titi Qadarsih.

Kurun waktu inilah berbagai karya kolaborasi lahir. Lihat misalnya Samgita Pancasona (1969) dan Ngrenaswara (1972) yang dikerjakan S Kardjono bersama Sardono W Kusumo; lalu Semar Boyong (1969), hasil karyanya bersama mendiang Danisworo; Wayang Orang Menak Cina (1973) dan Langen Mandra Wanara dengan lakon Sugriwa Subali (1975) dan Drama Tari Topeng berlakon Joko Penjaring (1977) bersama mendiang Basuki Kuswaraga, Dewi Sri (1976) bersama Retno Maruti, Sardono W Kusumo, dan Sentot Sudiarto; drama tari Roro Jonggrang (1977) bersama Ngaliman dari Surakarta serta tak ketinggalan Langen Beksa Tumenggung Wiroguno (1976) yang digarapnya sendiri.
***
MENARI dan nembang-lah secara benar dan tertib terlebih dahulu untuk kemudian baru belajar tarian dan tetembangan-nya. Pedagogi inilah yang telah membawa S Kardjono tekun dan teliti memperhatikan setiap detail gerak tari Jawa klasik gaya Yogyakarta yang menjadi
keahliannya kini. Taruhlah itu, misalnya, caranya mengajari para penari pria pemula untuk memperhatikan teknik tari jomplangan, yakni ketika dua kaki tidak boleh menapak bersama di tanah selain hanya saat berhenti menari.

"Ini gerakan sulit, karena membutuhkan keseimbangan tubuh yang sempurna. Inilah satu unsur gerak yang membedakan tarian Jawa gaya Yogyakarta dibanding gaya Surakarta," ungkap putra bungsu dari pasangan Sastroprandjono-Cokro Lukito ini.

Di usianya yang sudah tak muda lagi, Surjadi Kardjono masih tetap aktif menggiatkan kesenian tari-menari dan nembang. Di Sanggar Surya Kirana yang menempati sejumlah ruangan di gedung LIA Jl Pramuka Raya, Jakarta Pusat ini tak kurang 40 murid tari dan tembang bisa mendapatkan bimbingan langsung darinya.

"Umur boleh terus bertambah, namun kecintaan saya akan seni tari dan kekayaan seni suaranya jangan sampai pudar. Kepada anak-anak muda Ibu Kota yang menggemari tarian dan tetembangan inilah, harapan itu akan saya serahkan," tuturnya. (Mathias Hariyadi)

Foto: S Kardjono
Kompas/Mathias Hariyadi
KOMPAS - Selasa, 24 Oct 2000
Halaman: 12
Penulis: Hariyadi, Mathias
Ukuran: 7544
Foto: 1

No comments: