Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari
Sekali waktu, saya pernah dibuat malu di depan publik murid di kelas. Masalahnya sangat sepele, namun telah membuat saya malu –setidaknya juga harus mawas diri--, lantaran materi pelajaran yang saya tengah saya paparkan di kelas, secara mendadak direspon oleh murid dengan satu komentar: “Mohon maaf Pak, kami semua sudah tahu!”.
Reaksi spontan saya bertanya: “Dari mana kalian tahu (materi pelajaran) ini?” Dan ternyata jawaban mereka juga tak kalah mencengangkan: “Dari internet.”
lustrasi contoh pengalaman mengajar ini setidaknya membuktikan, internet sebagai salah satu pilar instrumen perangkat IT telah menggeser dominasi peran penting guru sebagai “sumber pengetahuan” alias pengajar. Pengalaman ini pula telah ikut membuka cakrawala berpikir baru.
Senjata baru bernama informasi
Kita tersadarkan, era modern adalah zaman keemasan informasi. Siapa tahu lebih banyak informasi dan juga tahu lebih awal, mereka itulah yang akan menguasai “medan” bicara. Tegasnya, data dan informasi adalah “senjata” paling strategis dengan apa kita bisa menguasai “dunia”.
Di dunia militer, siapa yang tahu lebih dahulu data mendetil tentang keadaan dan keberadaan musuh, maka mereka itu pula yang punya peluang pertama untuk menembak tepat sasaran posisi musuh agar tidak lagi menjadi ancaman membahayakan. Menang dalam peperangan kini tak harus maju berhadapan langsung dengan musuh di medan laga untuk kemudian bisa membunuhnya dengan tembakan timah panas di tangan kita. Kali ini, berkat bantuan teknologi informasi melalui satelit dan GPS, musuh sudah bisa kita bidik dan menjadi korban tewa, meski masih dalam jangkauan ribuan kilometer. Musuh itu bisa kita bidik dengan sekali tembakan rudal Tomahawk di balik cakrawala.
Nah, dari pengalaman “dikalahkan murid di medan kelas” itulah, saya lalu berkeyakinan, e-learning kini sudah merupakan sebuah keniscayaan sejarah yang tak bisa kita cegah. Proses belajar-mengajar dimana guru dan murid bisa mendapat peluang memanfaatkan instrumen IT merupakan sebuah kebutuhan yang mendesak. Intelektualitas guru dan murid sekarang ini tidak lagi hanya bisa terukur dari kecakapan intelektual semata, melainkan juga sejauh mana dan mengenai hal-hal apa mereka tahu banyak.
Saya meyakini sekali, pengertian pintar dan cerdas sekarang ini telah melampaui kriteria ukuran “normal” yakni tingkat kemampuan bernalar semata. Pintar, menurut pendapat saya, juga berarti tahu banyak. Good knowledge tentu saja akan mengandaikan (orang itu) juga tahu banyak hal. Dan tahu banyak hal juga akan mengandaikan bahwa orang yang bersangkutan juga telah membaca banyak hal: informasi, data, atau lainnya.
Di dunia militer, siapa yang tahu lebih dahulu data mendetil tentang keadaan dan keberadaan musuh, maka mereka itu pula yang punya peluang pertama untuk menembak tepat sasaran posisi musuh agar tidak lagi menjadi ancaman membahayakan. Menang dalam peperangan kini tak harus maju berhadapan langsung dengan musuh di medan laga untuk kemudian bisa membunuhnya dengan tembakan timah panas di tangan kita. Kali ini, berkat bantuan teknologi informasi melalui satelit dan GPS, musuh sudah bisa kita bidik dan menjadi korban tewa, meski masih dalam jangkauan ribuan kilometer. Musuh itu bisa kita bidik dengan sekali tembakan rudal Tomahawk di balik cakrawala.
Nah, dari pengalaman “dikalahkan murid di medan kelas” itulah, saya lalu berkeyakinan, e-learning kini sudah merupakan sebuah keniscayaan sejarah yang tak bisa kita cegah. Proses belajar-mengajar dimana guru dan murid bisa mendapat peluang memanfaatkan instrumen IT merupakan sebuah kebutuhan yang mendesak. Intelektualitas guru dan murid sekarang ini tidak lagi hanya bisa terukur dari kecakapan intelektual semata, melainkan juga sejauh mana dan mengenai hal-hal apa mereka tahu banyak.
Saya meyakini sekali, pengertian pintar dan cerdas sekarang ini telah melampaui kriteria ukuran “normal” yakni tingkat kemampuan bernalar semata. Pintar, menurut pendapat saya, juga berarti tahu banyak. Good knowledge tentu saja akan mengandaikan (orang itu) juga tahu banyak hal. Dan tahu banyak hal juga akan mengandaikan bahwa orang yang bersangkutan juga telah membaca banyak hal: informasi, data, atau lainnya.
Peran baru
Perangkat IT seperti internet kini telah menggantikan –meski tidak bisa secara menyeluruh— fungsi buku, perpustakaan, dan ceramah sebagai satu-satunya “sumber ilmu”. Pada praksis belajar-mengajar di forum sekolah, internet juga sudah menggeser peran penting guru sebagai pengajar.
Konsekuensi logisnya, sebagai guru saya juga harus rela dan berani mereposisi diri dalam mencari format fungsional yang baru. Saya tak boleh lagi berkutat pada fungsi “lama” sebagai “pengajar”, melainkan harus mau “bertobat” dan bersedia memfungsikan diri lebih sebagai pendamping (tutor) bagi murid dalam keseluruhan proses belajar. Guru membantu murid dalam upaya bersama mencari tahu dan menemukan solusi atas sebuah persoalan (problem solving method) atau materi pengajaran yang tengah dipaparkan di forum pembelajaran kelas.Kenyataan ini harus direspon sebagai tantangan, bukan sebagai kekalahan (guru di hadapan murid). Guru perlu merubah paradigma lama. Dia bukan lagi harus memposisikan dirinya sebagai satu-satunya “sumber ilmu” bagi murid. Sikap ini harus ada, terutama ketika kita harus merespon dahsyatnya laju perkembangan metoda kemasan penyampaian data dan informasi dalam bentuk digital (baca: internet). Kalau tidak, jangan-jangan –seperti kata pepatah—“murid sudah kencing berlari, ketika guru masih kencing berdiri”. Artinya, murid ternyata sudah tahu banyak hal dari internet, ketika guru masih sibuk berkutat pada textbook yang isinya hanya itu-itu saja.
Itulah sebabnya, mengutip argumen M. Hammer dan J. Champy (1993: Reengineering the Coorporation: A Manifesto for Business Revolution), guru memang harus merasa tertantang untuk bertanya lebih lanjut.
Jangan lagi berhenti berpikir hanya “sekelas” dengan muridnya. Begitu juga, guru tak boleh hanya berhenti pada pertanyaan: bagaimana kita bisa memanfaatkan teknologi berbasis internet demi ilmu pengetahuan? Melainkan kita harus bertanya: apa yang belum dan harus bisa kita lakukan dengan IT –termasuk internet di dalamnya— untuk kemudian bisa menciptakan hal-hal yang sebelum tidak ada menjadi ada. Proses kreatif untuk menghadirkan yang tidak atau belum pernah ada menjadi ada harus terjadi, ketika guru berhadapan dengan perangkat IT.
Singkat kata, kita ingin bicara mengenai peluang bisa merekayasa “masa depan” ilmu pengetahuan dengan cara memanfaatkan kecanggihan IT melalui –misalnya-- internet. Pertanyaan kritis ini sungguh telah mengusik saya sebagai guru. Ini lantaran kasus sederhana yang juga saya dapat dari panggung internet. Kenyataan ini sungguh mengejutkan, ketika laporan pemberitaan pers menyebutkan, ternyata orang-orang “awam” pun sudah bisa membuktikan diri mampu membuat bom dengan daya ledak tinggi, walaupun mereka hanya “membaca” sumber-sumber pengetahuannya dari internet. Mereka (baca: kaum teroris) bukanlah anggota tentara atau penjinak bom, namun dunia internet berhasil “mendidik” mereka menjadi ahli bom.
Pengalaman konkret
Hadirnya perangkat modern IT –termasuk di dalamnya internet— sudah barang tentu akan membawa persoalan lebih jauh. Guru tak boleh hanya berkutat pada kenyataan bisa “ketinggalan kereta” dalam berlari mengejar “lokomotif pengetahuan” dibandingkan muridnya. Lebih jauh, berkat kemampuan (internet) sebagai “sumber ilmu pengetahuan” alternatif namun juga sangat lengkap, maka guru harus memberi kerangka berpikir baru.
Kepada murid, kita perlu menerangkan atau memberikan perspektif pemikiran baru tentang bagaimana sebaiknya kita menyikapi “lompatan jauh” ke depan dalam hal perkembangan teknologi informasi ini. Kita perlu mengimbau jangan sampai murid sampai terjebak pada “logika” perangkat IT yang sifatnya membius. Asyiknya bermain internet tentu saja akan mengubah pola pikir dan pola tatanan keseharian hidup manusia. Luberan data dan informasi dari perangkat internet dengan kuantitasnya yang tak terbatas ini dengan sendirinya akan membuka tantangan moral bagi user-nya.
Pengalaman saya memberi sebuah pelajaran berharga tentang bagaimana browsing dan surfing di dunia maya itu sungguh merupakan sebuah kegiatan menyenangkan, namun sekaligus juga amat membius. Saya bisa berjam-jam hanya duduk di depan komputer dan asyik berselancar di dunia maya melalui panggung frendster, google, yahoo dan masih banyak lagi hingga kemudian tanpa sadar “melupakan” hal-hal lainnya. Dengan sangat gampang, saya bisa terjebak pada sebuah “hedonisme” spontan yakni membiarkan diri sendiri hanya dalam kenikmatan sebuah dunia maya yang tak terbatas, ketika naluri alami yakni rasa ingin tahu akan sesuatu bisa “terbeli” dengan mudah dan cepat di depan layar komputer berkat “jasa” IT bernama internet.
Internet memang bak dua sisi sebuah keping uang. Ibarat mencari tahu data tentang suatu hal, maka berburu informasi di ladang internet sungguh merupakan sebuah aktivitas menyenangkan ketika cakupan informasi menjadi tak kenal batas. Namun juga memabukkan, ketika terhadap “gempuran” informasi tak kenal batas ini, kita tidak bisa mengambil “jarak” alias membiarkan kita “tenggelam” dalam lautan informasi.
Di sini persoalan “moral” lantas mengemuka.Kepada murid, kita perlu menerangkan atau memberikan perspektif pemikiran baru tentang bagaimana sebaiknya kita menyikapi “lompatan jauh” ke depan dalam hal perkembangan teknologi informasi ini. Kita perlu mengimbau jangan sampai murid sampai terjebak pada “logika” perangkat IT yang sifatnya membius. Asyiknya bermain internet tentu saja akan mengubah pola pikir dan pola tatanan keseharian hidup manusia. Luberan data dan informasi dari perangkat internet dengan kuantitasnya yang tak terbatas ini dengan sendirinya akan membuka tantangan moral bagi user-nya.
Pengalaman saya memberi sebuah pelajaran berharga tentang bagaimana browsing dan surfing di dunia maya itu sungguh merupakan sebuah kegiatan menyenangkan, namun sekaligus juga amat membius. Saya bisa berjam-jam hanya duduk di depan komputer dan asyik berselancar di dunia maya melalui panggung frendster, google, yahoo dan masih banyak lagi hingga kemudian tanpa sadar “melupakan” hal-hal lainnya. Dengan sangat gampang, saya bisa terjebak pada sebuah “hedonisme” spontan yakni membiarkan diri sendiri hanya dalam kenikmatan sebuah dunia maya yang tak terbatas, ketika naluri alami yakni rasa ingin tahu akan sesuatu bisa “terbeli” dengan mudah dan cepat di depan layar komputer berkat “jasa” IT bernama internet.
Internet memang bak dua sisi sebuah keping uang. Ibarat mencari tahu data tentang suatu hal, maka berburu informasi di ladang internet sungguh merupakan sebuah aktivitas menyenangkan ketika cakupan informasi menjadi tak kenal batas. Namun juga memabukkan, ketika terhadap “gempuran” informasi tak kenal batas ini, kita tidak bisa mengambil “jarak” alias membiarkan kita “tenggelam” dalam lautan informasi.
Sejauh manakah terhadap IT –baca internet-- kita mampu menyodorkan sikap dan perilaku “sehat” ketika berhadapan dengan gempuran informasi yang sifatnya tak terbatas. Ambil contoh misalnya: Bagaimana kita bisa bersikap “sehat” manakala hal-hal yang semestinya “terlarang” (baca: pornografi) menjadi pemandangan biasa “tanpa bayar” di depan layar komputer?
Itu pasti. Dan menyenangkan? Ini juga sangat mungkin. Semua lantaran fantasi liar manusia bisa terpuaskan, karena insting alamiah kita yakni curiosity sudah bisa terbayar dengan hadirnya banyak informasi yang bisa tersedia bagi kita secara cepat, murah, dan lengkap. Orang tak perlu pergi jauh ke perpustakaan atau mencuri kesempatan secara in secreto guna mencari tahu soal “hal-hal terlarang”, karena internet kini sudah bisa menyediakan semua itu secara instan dan lengkap.
Perilaku sehat
Terhadap persoalan penting ini, kita bertanya harus berbuat apa. Menurut pendapat saya, sistem blokade informasi berupa firewall belum menjadi solusi “sehat” atas tantangan moral yang tergelar di depan mata. Sebagian orang lebih suka menyikapi persoalan ini dengan sikap “pembiaran”. Singkatnya, biarlah akhirnya “kesadaran” masing-masing orang yang akan menentukan.
Sebagian lainnya mempunyai sikap berbeda. Perangkat IT dan internet telah mampu menyediakan peluang bagi kita untuk bisa merekayasa “masa depan” dan kemudian mampu menciptakan hal-hal yang tadinya belum ada menjadi ada. Nah, pertanyaannya adalah apakah juga tidak bisa diciptakan sistem perangkat yang mendorong membuat kita berperilaku “sehat” dalam menghadapi gempuran informasi melalui internet yang sifatnya menjadi tak terbatas ini.
Ini memang bukan tugas guru sejarah seperti saya. Para insinyur dan pakar IT-lah yang harus menjawab pertanyaan penting di atas. Kalau persoalan sepenting ini tidak terjawab, saya khawatir kalau sekali waktu bisa terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan bersama. Bukan lagi hanya “murid kencing dan berlari, sementara gurunya kencing sembari berdiri”, melainkan “murid sudah kencing dimana-mana dan mengencingi banyak orang tak peduli siapa”.Sebagian lainnya mempunyai sikap berbeda. Perangkat IT dan internet telah mampu menyediakan peluang bagi kita untuk bisa merekayasa “masa depan” dan kemudian mampu menciptakan hal-hal yang tadinya belum ada menjadi ada. Nah, pertanyaannya adalah apakah juga tidak bisa diciptakan sistem perangkat yang mendorong membuat kita berperilaku “sehat” dalam menghadapi gempuran informasi melalui internet yang sifatnya menjadi tak terbatas ini.
Ini memang ekstrim. Tapi apa salahnya saya sebagai guru juga mawas diri. Jangan sampai murid saya tahu hal-hal “terlarang”, ketika usia mereka belum cukup untuk mengetahui hal itu. Ketika murid-murid SMP sudah mengakrabi kata-kata lesbian, homo, anal sex dan kosa kata lain yang belum pantas diketahui, rasa-rasanya kesadaran kritis kita sebagai guru tergugah.
Itulah saatnya, kita harus memperlakukan perangkat IT dan internet tidak hanya semata sebagai “sumber ilmu”, melainkan juga sebagai “booby trap” yang bisa membius manusia dalam sebuah hedonisme baru di panggung maya.
Nah, pada konteks inilah social awareness manusia dibutuhkan. Kita harus sampai pada sebuah kesadaran baru. Manusia harus “menguasai” IT dan internet dan lalu memperlakukan mereka sebagai perangkat alat dan bukan “tujuan”. Itulah sebabnya, IT dan internet harus tunduk pada “logika” kesadaran kritis manusia dan bukan sebaliknya: manusia akhirnya menjadi “budak” IT dan internet.
*) Mathias Hariyadi suka membaca buku sejarah.
Photo credit: Mathias Hariyadi
No comments:
Post a Comment