Monday, 14 April 2008

Tarian Sampah Kali Code

Miroto, Semangat Tari Sampah

DUA hari sebelum pementasan, ia menerima kostum versi ubahan baru. Ia memandanginya, kemudian mematut di pinggang, memasukkan ujung sikut dan mencoba berbagai gerak yang mungkin dilakukan dengan kedua tangan terperangkap di dalamnya."Wah ini menarik, sangat menantang. Saya sangat suka," tuturnya, sambil terus merespon kostum tersebut.

Miroto, penari yang terlatih di dalam tari Jawa klasik dan tumbuh kemudian sebagai koreografer, memang mengharap tantangan itu. Maka ia memilih Samuel Wattimena untuk merancang kostum, karena ia percaya perbedaan kultur justru bisa produktif. Terbukti kostum tersebut mendukung pertunjukannya 6-7 Oktober di Gedung Kesenian Jakarta, dalam rangka Art Summit Indonesia II/1998, yang baru saja berakhir.

Untuk karya tarinya Kembang Sampah itu, ia juga sengaja mencari tantangan lain, yaitu mengembangkan kemungkinan baru dari dua tradisi bersaudara. Ia mengajak beberapa penari dari Solo bersama para penari dari daerah asalnya, Yogyakarta. Tujuannya untuk mendapatkan gairah baru di dalam berkesenian, mengingat perbedaan-perbedaan antara kedua pusat budaya Jawa itu justru bisa memperkaya.

Tari karya Miroto memperlihatkan kepekaan akan semangat dan keindahan gerak Jawa dalam napas baru maupun bungkus yang juga baru. Menarik untuk melihatnya di tengah para koreografer yang berangkat dari tari Jawa dalam pergaulan tari masa kini.

"Jawa baru" yang masih sangat kental Jawanya dengan pencapaian sangat tinggi bisa dijumpai pada Retno Maruti. Ekspresi yang matang dengan rasa Jawa dengan ungkapan baru muncul pada Sulistyo Tirtokusumo.

Jawa baru yang sedikit nakal namun mengukuhi berbagai dasar-dasar bentuk ungkapan tradisi, serta digarap sangat bersih dan rapi, tampil pada karya-karya Sukardji Sriman. Sebelum mereka, Empu Bagong Kussudiardjo merintisnya dengan penjelajahan yang begitu lanjut sehingga orang tidak lagi mempersoalkan apakah karyanya masih Jawa atau tidak. Demikian juga Sardono W Kusumo berjalan sangat jauh bahkan bekerja melampaui batas-batas seni.

Seberapa lanjut perjalanan Miroto, karya-karyanya tetap menunjukkan ia masih lekat dengan cita rasa Jawa. Bagian kedua dari Kembang Sampah sekilas memberi gambaran upaya menghancurkan keindahan yang dibangun pada bagian pertama. Namun keindahan yang telah diremuk itu toh menumbuhkan semacam keindahan baru, baik dari gerak laku sehari-hari seperti berjalan terhuyung, sikap berdiri tegak dengan dua lengan mengacung ke atas, gerak menyabet yang tampak keras bahkan kasar namun tetap mengandung keluwesan.
*
JUDUL tari terbaru itu diangkat langsung dari tema yang ia tawarkan: sampah. "Itu tema lama, yang saya perdalam dan kembangkan," tutur Miroto, menunjuk karyanya yang tampil di dalam Festival Karya Tari Dewan Kesenian Jakarta VII/1986 di Jakarta.

Bersanding dengan sejumlah koreografer muda lain -waktu itu usianya 27 tahun- karyanya sudah menonjol paling tidak dalam dua pokok soal, yaitu temanya yang aneh dan "tidak gagah", serta bentuk ungkapan. Ia memilih sampah untuk tari Sampah tersebut, yang konon sudah lama telah menjadi bahan renungannya. Bentuk ungkapannya meski terasa cenderung mengutamakan hanya fisik, namun sudah menyarankan kemampuan pembuatnya.

Catatan Kompas (17/2/1986) menyebutkan, ia menggunakan tiga penari yang seluruh tubuhnya dibalut tempelan dari potongan kain. Bergerak sedikit, mereka menyarankan gumpalan yang menjijikkan, terasa jenaka, tapi punya potensi mengancam.

Untuk karya lama itu ia berminggu-minggu ikut nongkrong di kawasan kumuh di pinggir kali Code, di samping jembatan Kewek di kawasan Kotabaru, Yogyakarta. Ia tidak sedang melakukan observasi seperti para seniman umumnya memperlakukan obyeknya, karena sesungguhnya sudah sangat lama ia bergaul dengan mereka. "Waktu itu saya sudah mahasiswa, mereka bangga karena menganggap saya bukan orang asing bagi mereka," tuturnya.

Menggarap Kembang Sampah yang ia siapkan berbulan-bulan juga membuatnya harus kembali mendekati mereka lagi. Kali ini situasinya sudah berubah. Dulu ia mahasiswa, kini pengajar di alma mater-nya yakni Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Dulu ia bujangan, kini suami dan bapak seorang anak.
"Lebih lagi, secara fisik saya agak berjarak dengan kehidupan mereka. Dulu hampir tiap hari sejak masih sangat muda saya bergaul dengan mereka, sekarang tidak bisa lagi. Jadi saya datangi tempat pembuangan akhir sampah di Piyungan, di kawasan Prambanan," kata Miroto.
***
TAPI mengapa sampah? "Karena saya sangat dekat dengan mereka yang ibaratnya hidup di tempat sampah," jawabnya.

Pada awalnya, ia tergerak oleh sampah yang betul-betul sampah. Artinya, barang buangan yang ternyata masih berguna bagi sebagian masyarakat, yaitu mereka yang tersisih oleh "pembangunan" selama ini. Aspek visual dari garapannya kemudian masih memberi jejak pada bentuk atau ingatan orang akan sampah, karena itu ia memilih potongan-potongan kain untuk kostum dan sebagainya.

Belakangan tafsirannya semakin berkembang. Ia melihat, selalu ada saja manusia yang menganggap dan memperlakukan manusia lain tak lebih daripada sampah. "Ya 'gimana lagi kalau manusia sudah tak dianggap lagi sebagai manusia?," katanya setengah bertanya. Perhatiannya pada nasib sesama sudah sejak sangat muda ia pupuk. Persahabatannya dengan orang-orang terbuang adalah salah satu contoh. Berbagai kabar tentang ketidakadilan, perlakuan sewenang-wenang, dengan sangat mudah membuatnya resah.

"Kasus Marsinah, Udin, dan lain-lain itu sering membuat saya sulit tidur. Kok bisa terjadi seperti itu," tuturnya. "Mementaskan tari dengan mengambil tema-tema itu mampu membuat hati saya lega."

Sebuah karya yang ia angkat dari peristiwa berdarah 27 Juli di Jakarta -waktu itu ia tengah mengikuti sebuah program kesenian Dewan Kesenian Jakarta- juga menjadi sarananya membuat lega hati. Seorang gurunya yang sangat ia hormati, Ben Suharto, menyarankan untuk tidak mementaskannya karena berbagai alasan. Ia bisa menerima, sehingga dua hari menjelang pementasan ia batalkan. Sebagai gantinya, ia langsung menarikannya di hadapan gurunya itu.

"Pokoknya saya sudah tarikan, dan ada saksi guru dan seorang teman," kenangnya sambil tertawa, dan tetap percaya kalau ia tidak menarikannya saat itu juga, ia akan lebih senewen.

"Memang ia sering gelisah kalau sedang berkarya, atau mendengar nasib buruk orang lain," tutur istrinya, Yuli Setyasari, salah seorang penarinya yang kemudian ia nikahi tahun 1997. Mereka kini dianugerahi seorang putra bernama Sambung Penumbra.
***
MENURUT Miroto, nama putranya itu sebelumnya telah ia pakai untuk judul tari tunggalnya, Penumbra, yang digarapnya tahun 1995 di Los Angeles, Amerika Serikat. Tari ini ia bawakan dalam perhelatan seni akhir Oktober ini di Manila, atas undangan The Asia Society.

Terlatih ketat dalam tari Jawa klasik -sampai sekarang masih menjadi penari istana Yogyakarta- ia lulusan Institut Seni Indonesia tahun 1986 sedang gelar MFA (Master of Fine Arts) ia raih dari University of California, Los Angeles, tahun 1995. Wawasan seninya meluas lewat berguru pada Bagong Kussudiardjo, yang "memaksanya" menciptakan tari, Sardono W Kusumo, Daniel Nagrien, dan empu tari modern seperti Pina Bausch di Jerman, selain di American Dance Festival tahun 1992.

Ia juga mengaku mendapat bekal lewat latihan gerak meditasi bersama Suprapto Suryadarma dari Padepokan Lemah Putih di Surakarta. "Pengalaman apa pun, dari mana pun, berguna buat saya," katanya.

Lahir di Sleman Yogyakarta 23 Februari 1959 sebagai putra ke-5 dari enam anak keluarga sederhana Setyo Martono, koreografer berbakat ini berkukuh sebagai pegawai negeri, yaitu sebagai dosen. "Soalnya pesanan koreografi 'kan sangat jarang. Jadi dosen paling tidak tiap bulan ada yang diharap, apalagi sudah jadi bapak sekarang," katanya. (Mathias Hariyadi)

Photo credit: Kompas/Mathias Hariyadi
Published by Kompas, Friday 30 Oct 1998
Halaman: 12
Penulis: Mathias Hariyadi (RYI)
Ukuran: 8300

No comments: